Banner 468 x 60px

 

Jumat, 28 April 2017

Demokrasi

1 komentar

Demokrasi dan Diktatur.

Dimana-mana orang merasa tak puas. Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang diharapkan. Kemakmuran rakyat yang dicita-citakan masih jauh saja, sedangkan nilai uang makin merosot. Rencana yang terlantar banyak sekali. Keruntuhan dan kehancuran barang-barang kapital tampak dimana-mana, seperti rusaknya jalan-jalan raya, irigasi, pelahuhan, berkembangnya irosi, dan lain-lain.
Pembangunan demokrasi pun terlantar karena percekcokan politik senantiasa. Indonesia yang adil yang ditunggu-tunggu masih jauh saja. Pelaksanaan autonomi daerah dengan urusan keuangan sendiri yang lama sekali menunggu menjadi sebab timbulnya pergolakan daerah.
Daerah-daerah yang begitu banyak menghasilkan devisen buat negara, sedangkan mereka tidak melihat pembangunan didaerahnya, mulai menentang pemerintah pusat.
Sudah lebih dahulu angkatan perang merasa tak puas dengan jalannya pemerintahan ditangan partai-partai. Percekcokan politik dipusat besar pengaruhnya kebawah. Pada daerah-daerah yang belum aman, gerakan gerombolan makin menjadi. Semuanya itu harus dihadapi oleh tentera. Aturan menyiapkan diri untuk tugasnya yang sebenarnya, yaitu melatih diri dan mengadakan perlengkapan untuk menghadapi musuh dari luar, ia terus-menerus saja disuruh melakukan tugas polisi kedalam. Pada tahun 1952, pernah pimpinan angkatan perang memohon kepada Presiden supaya Presiden sudi mengakhiri cara Dewan Perwakilan Rakyat bekerja, yang selalu menimbulkan politik yang tidak stabil. Petisi itu tidak berhasil. Sebab Presiden menunjukkan kepada kedudukannya sebagai Kepala Negara yang konstitusionil.
Akhirnya pesertaan tentera dengan gerakan rakyat pada beberapa daerah untuk menentang pemerintah pusat memaksa Pemerintah pusat mengumumkan keadaan bahaya. Sejak itu mulailah campur tangan angkatan perang dalam pemerintahan. Persengketaan tentang Irian Barat yang makin memuncak memberi kesempatan kepada beberapa golongan pemuda untuk mengambil alih beberapa perusahaan Belanda yang ada di Indonesia. Untuk menghindarkan kekacauan, Pemerintah memberi tugas kepada angkatan perang untuk mengawasi semuanya itu. Dengan itu bertambah luaslah kekuasaan dan tanggung jawab yang diberikan kepada tentera. Kalau mereka yang harus bertanggung jawab dalam berbagai bidang keamanan dan keselamatan umum, maka menurut pendapat mereka sudah selayaknya mereka ikut serta dalam pemerintahan negara. Untuk menanggalkan kekuasaan partai-partai politik dalam pemerintah, tentera menganjurkan idee: kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dengan sistim Kabinet presidensiil. Cita-cita itu disokong oleh beberapa golongan kecil yang merasa berjasa dalam revolusi tahun 1945 tetapi tak pernah terhitung dalam politik selama itu. Sudah tentu dengan interpretasi sendiri! Dari kanan dan kiri Presiden didesak supaya mengambil tindakan yang tegas untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Tindakan anti konstitusionil dianjurkan!
Maka terjadilah peristiwa yang disebut tadi pada permulaan karangan ini. Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki, membuka ja1an untuk lawannya: diktatur. Seperti diperingatkan tadi, ini adalah hukum besi dari pada sejarah dunia. Tetapi sejarah dunia memberi petunjuk pula bahwa diktatur yang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistim yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistimnya itu akan rubuh dengan sendirinya seperti satu rumah dari kartu. Tidak ada seorang juga dari team kerjasama yang diadakannya itu yang mempunyai kaliber dan kewibawaan untuk meneruskannya. Tidak pula ada bayangan dalam masyarakat, bahwa sistim itu disukai orang.

Konsepsi Soekarno.

Kalau kita perhatikan golongan-golongan dalam Dewan Perwakilan Rakyat gotong-royong itu, yang akan mendukung sistim Soekarno, disitu tidak ada homogenita. Malahan mereka itu terdiri dari berbagai aliran yang bertentangan satu sama lain, yang batas-membatasi dan hambat-menghambat. Mereka dapat kerjasama dengan musyawarah karena ada Soekarno yang menentukan dan mereka meng-ia-kan.
Dalam keadaan semacam itu, tenaga-tenaga demokrasi dalam masyarakat terpaksa menunggu dengan sabar apa yang akan dilahirkan oleh konsepsi Soekarno itu. Selama politiknya didukung oleh aliran-aliran politik yang terbesar jumlahnya dan golongan yang berkuasa, semuanya dengan semangat totaliter, aliran demokrasi tidak dapat berbuat apa-apa. Semangat totaliter sedang kuat berhubung dengan pemberontakan pada beberapa daerah.
Bagi saya yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan faire chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistimnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan. Sikap ini saya ambil sejak perundingan kami yang tidak berhasil kira-kira dua tahun yang lalu. Ada ukuran yang obyektif yang akan menentukan dalam hal ini. Tercapailah atau tidak kemakmuran rakyat dengan itu, kemakmuran rakyat yang Soekarno sendiri juga menciptakannya dengan sepenuh-penuh fantasinya? Sanggupkah ia menahan kemerosotan taraf hidup rakyat dalam tempoh yang singkat? Dapatkah ia menyetop inflasi yang terus-menerus dalam waktu yang tidak terlalu lama, inflasi yang membawa orang putus harapan?
Itulah ukuran obyektif yang tepat terhadap konsepsinya itu!
Bahwa Soekarno seorang patriot yang cinta pada Tanah Airnya dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya, itu tidak dapat disangkal. Dan itulah barangkali motif yang terutama baginya untuk melakukan tindakan yang luar biasa itu, dengan tanggung jawab sepenuhnya pada dirinya. Cuma, berhubung dengan tabiatnya dan pembawaannya, dalam segala ciptaannya ia memandang garis besarnya saja. Hal-hal yang mengenai detail, yang mungkin menyangkut dan menentukan dalam pelaksanaannya, tidak dihiraukannya. Sebab itu ia sering mencapai yang sebaliknya dari yang ditujunya.
Dalam suatu kritik terhadap konsepsinya kira-kira tiga tahun yang lalu, saya bandingkan dia dengan Mephistopheles dalam hikajat Goethe’s Faust. Apabila Mephistopheles berkata, bahwa dia adalah “ein Teil jener Kräfte, die stets das Böse will und stets das Gute schafft” — satu bagian dari suatu tenaga yang selalu menghendaki yang buruk dan selalu menghasilkan yang baik —, Soekarno adalah kebalikan dari gambaran itu. Tujuannya selalu baik, tetapi langkah-langkah yang diambilnya kerapkali menjauhkan dia dari tujuannya itu. Dan sistim diktatur yang diadakannya sekarang atas nama demokrasi terpimpin akan membawa ia kepada keadaan yang bertentangan dengan cita-citanya selama ini.
Tadi saya katakan, bahwa demokrasi tidak akan lenyap dari Indonesia. Mungkin ia tersingkir sementara, seperti kelihatan sekarang ini, tetapi ia akan kembali dengan tegapnya. Memang tak mudah membangun suatu demokrasi di Indonesia yang lancar jalannya. Tetapi bahwa ia akan muncul kembali, itu tidak dapat dibantah.
Ada dua hal yang memberikan keyakinan itu kepada saya. Pertama, cita-cita demokrasi yang hidup dalam pergerakan kebangsaan dimasa penjajahan dahulu, yang memberikan semangat kepada perjuangan kemerdekaan. Kedua, pergaulan hidup Indonesia yang asli berdasarkan demokrasi, yang sampai sekarang masih terdapat didalam desa lndonesia.
Sudah biasa dalam sejarah, bahwa cita-cita yang murni dan indah tentang pergaulan hidup manusia dan bangsa lahir dalam masa penderitaan. Rakyat Indonesia menderita, berabad-abad lamanya, dibawah penjajahan Belanda. Kesengsaraan hidup, penghinaan bangsa oleh berbagai peraturan diskriminasi, pemerasan nasional dibawah suatu kekuasaan autokrasi ko­lonial, sifat pemerintahan jajahan sebagai suatu negara-polisi yang menindas segala cita-cita kemerdekaan, — semuanya itu menghidupkan dalam pangkuan pergerakan kebangsaan, cita-cita tentang persatuan Indonesia, peri-kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial. Semuanya itu tergaris sedalam-dalamnya dalam jiwa rakyat Indonesia, sekalipun mereka hanya sanggup menyatakannya secara pasif. Tetapi didalam kalbu orang pergerakan, cita-cita itu hidup sebagai keinsafan hukum, yang harus memberi corak kepada Indonesia Merdeka.
Sejak dari masa penjajahan diciptakan, bahwa Indonesia Merdeka dimasa datang mestilah NEGARA NASIONAL, bersatu dan tidak terpisah-pisah. Ia be­bas dari penjajahan asing dalam rupa apapun juga, politik maupun ideologi. Dasar-dasar peri-kemanusiaan harus terlaksana dalam segala segi penghidupan, dalam perhubungan antara orang dengan orang, antara majikan dan buruh, antara bangsa dan bangsa.
Lahir dalam perjuangan menentang penjajahan, cita-cita peri-kemanusiaan tidak saja bersifat anti-kolonial dan anti-imperialis, tetapi juga menuju kebebasan manusia dari segala tindasan. Pergaulan hidup harus diliputi oleh suasana kekeluargaan dan persaudaraan. Literatur sosialis yang banyak dibaca dan pergerakan kaum buruh Barat yang dilihat dari jauh dan dari dekat, memperkuat cita-cita itu menjadi keyakinan.

Demokrasi Indonesia.

Pengalaman dengan pemerintahan autokrasi kolonial dalam bentuk negara-polisi menghidupkan dalam kalbu pemimpin dan rakyat Indonesia cita-cita negara hukum yang demokratis. Negara itu haruslah berbentuk Republik berdasarkan Kedaulatan Rakyat. Tetapi Kedaulatan Rakyat yang dipahamkan dan dipropagandakan dalam kalangan pergerakan nasional berlainan dengan konsepsi Rousseau yang bersifat individualisme. Kedaulatan Rakyat ciptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan hidup sendiri yang bercorak kolektivisme. Demokrasi Indonesia harus pula perkembangan dari pada demokrasi Indonesia yang asli. Semangat kebangsaan yang tumbuh sebagai reaksi terhadap imperialisme dan kapitalisme Barat, memperkuat pula keinginan untuk mencari sendi-sendi bagi negara nasional yang akan dibangun kedalam masyarakat sendiri. Demokrasi Barat à priori ditolak.
Dalam mempelajari Revolusi Perancis 1789 yang terkenal sebagai sumber demokrasi Barat, ternyata bahwa trilogi “kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan”, 3 yang menjadi semboyannya, tidak terlaksana didalam praktik. Itu tidak mengherankan, karena Revolusi Perancis meletus sebagai revolusi individuil untuk kemerdekaan orang-seorang dari ikatan feodalisme. Kemerdekaan individu diutamakan. Dalam merealisasinya orang lupa akan rangkaiannya dengan persamaan dan persaudaraan.
Selagi Revolusi Perancis tujuannya hendak melaksanakan cita-cita sama rata sama rasa — sebab itu disebelah kemerdekaan individu dikemukakan persamaan dan persaudaraan —, demokrasi yang dipraktikkan hanya membawa persamaan politik. Itupun terjadi berangsur-angsur. Dalam politik, hak seseorang sama dengan yang lain: kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak untuk memilih dan dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi lebih dari itu tidak ada persamaan. Dalam perekonomian tetap berlaku dasar tidak sama. Malahan dengan berkobarnya semangat individualisme yang dihidupkan oleh Revolusi Perancis, kapitalisme subur tumbuhnya. Pertentangan kelas bertambah hebat. Dimana ada pertentangan yang hebat antara berbagai kepentingan, dimana ada golongan yang menindas dan ditindas, disitu sukar didapat persaudaraan.
Nyatalah bahwa demokrasi yang semacam itu tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan Indonesia yang menciptakan terlaksananya dasar-dasar peri-kemanusiaan dan keadilan sosial. Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Disebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia. Cita-cita keadilan sosial yang terbayang dimuka, dijadikan program untuk dilaksanakan didalam praktik hidup nasional dikemudian hari.
Jika ditilik benar-benar, ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial itu dalam kalbu pemimpin-pemimpin Indonesia diwaktu itu. Pertama, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian mereka karena dasar-dasar peri-kemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya. Kedua, ajaran Islam, yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antara manusia sebagai makhluk Tuhan, sesuai dengan sifat Allah yang Pengasih dan Penyayang. Ketiga, pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme. Paduan semuanya itu hanya memperkuat keyakinan, bahwa bangun demokrasi yang akan menjadi dasar pemerintah Indonesia dikemudian hari haruslah suatu perkembangan dari pada demokrasi asli, yang berlaku didalam desa Indonesia.
Negara-negara Indonesia lama adalah negara feodal, yang dikuasai oleh raja autokrat. Sungguhpun begitu, didalam desa-desa sistim demokrasi terus berlaku, tumbuh dan hidup sehagai adat-istiadat. Bukti ini menanam keyakinan, bahwa demokrasi Indonesia yang asli kuat bertahan, liat hidupnya. Seperti kata pepatah Minangkabau “indak lakang dek paneh, indak lapuak dek ujan”.
Demokrasi asli itu di-idealisir dalam pergerakan kebangsaan dahulu. Dan orang coba membuat konsepsi demokrasi Indonesia yang moderen, berdasarkan demokrasi desa yang asli itu.
Analisa sosial menunjukkan, bahwa demokrasi asli Indonesia kuat bertahan dibawah feodalisme, karena tanah sebagai faktor produksi yang terpenting adalah milik bersama kepunyaan masyarakat desa. Bukan kepunyaan raja. Dan sejarah sosial dibenua Barat memperlihatkan, bahwa pada zaman feodalisme milik-tanah adalah dasar kemerdekaan dan kekuasaan. Siapa yang hilang haknya atas tanah, hilang kemerdekaannya. Ia terpaksa menggantungkan hidupnya kepada orang lain; ia menjadi budak pekarangan tuan tanah.
Oleh karena dalam Indonesia dahulu kala milik tanah adalah pada masyarakat desa, maka demokrasi desa boleh ditindas hidupnya oleh kekuasaan feodal yang meliputinya dari atas, tetapi tidak dapat dilenyapkan. Berdasarkan milik bersama atas tanah, tiap-tiap orang-seorang dalam mempergunakan tenaga ekonominya merasa perlu akan persetujuan kaumnya. Kelanjutan dari pada itu didapati pula, bahwa segala usaha yang berat, yang tidak tekerjakan oleh tenaga orang-seorang, dikerjakan bersama secara gotong-royong. Bukan saja hal-hal yang menurut sistim yuridis Barat termasuk kedalam golongan hukum publik dikerjakan begitu, tetapi juga yang mengenai hal-hal privé, seperti mendirikan rumah, mengerjakan sawah, mengantar mayat kekubur, dan lain-lain.
Adat hidup semacam itu membawa kebiasaan bermusyawarah. Segala hal yang mengenai kepentingan umum dipersoalkan bersamma-sama dan keputusan diambil dengan kata sepakat. Seperti disebut dalam pepatah Minangkabau: “Bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat”. Kebiasaan mengambil keputusan dengan musyawarah dan mufakat menimbulkan institut rapat pada tempat yang tertentu, dibawah pimpinan kepala desa. Segala orang dewasa diantara anggota-anggota asli desa berhak hadir dalam rapat itu.
Ada dua anasir lagi dari pada demokrasi desa yang asli di Indonesia. Yaitu hak untuk mengadakan protes bersama terhadap peraturan-peraturan raja yang dirasakan tidak adil, dan hak rakyat untuk menyingkir dari daerah kekuasaan raja apabila ia merasa tidak senang lagi hidup disana. Benar atau tidak, yang kemudian ini sering dianggap sebagai hak orang-seorang untuk menentukan nasib sendiri. Hak mengadakan protes bersama itu biasa dilakukan sampai pada masa yang akhir ini. Apabila rakyat merasa keberatan sekali atas peraturan yang diadakan oleh pembesar daerah, maka kelihatan rakyat datang sekali banyak ke alun-alun dimuka rumahnya dan duduk disitu beberapa lama dengan tiada berbuat apa-apa. Ini merupakan suatu demonstrasi secara damai. Tidak sering rakyat Indonesia dahulu, yang bersifat sabar dan suka menurut, berbuat begitu. Akan tetapi, apabila ia sampai berbuat begitu, maka ia menjadi pertimbangan bagi penguasa, apakah ia akan mencabut kembali atau mengubah perintahnya.
Kelima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong-royong, hak mengadakan protes bersama, dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja, dipuja dalam lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok yang kuat bagi demokrasi sosial, yang akan dijadikan dasar pemerintahan Indonesia Merdeka dimasa datang. Tidak semua dari yang tampak bagus pada demokrasi desa dapat dipakai pada tingkat yang lebih tinggi dan moderen. Tetapi sebagai dasar ia dipandang terpakai. Betapapun juga, orang tak mau melepaskan cita-cita demokrasi sosial, yang banyak sedikitnya bersendi kepada organisasi sosial didalam masyarakat asli sendiri.
Dalam segi politik, dilaksanakan sistim perwakilan rakyat dengan musyawarah, berdasarkan kepentingan umum. Demokrasi desa yang begitu kuat hidupnya adalah pula dasar bagi pemerintahan autonomi yang luas didaerah-daerah, sebagai cermin dari pada “pemerintahan dari yang diperintah”.
Dalam segi ekonomi, semangat gotong-royong yang merupakan kooperasi sosial adalah dasar yang sebaik-baiknya untuk membangun kooperasi ekonomi sebagai dasar perekonomian rakyat. Keyakinan tertanam, bahwa hanya dengan kooperasi dapat dibangun kemakmuran rakyat.
Dalam segi sosial, diadakan jaminan untuk perkembangan kepribadian manusia. Manusia bahagia, sejahtera, dan susila menjadi tujuan negara.

Sumber Tulisan: https://ngaji.net/demokrasi-kita-bung-hatta/2/

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Merit Casino - Best Bitcoin casino - deccasino.com
Merit 바카라 사이트 Casino - Best Bitcoin casino 메리트카지노 - Best Bitcoin casino. Our septcasino platform offers over 2500 games from a wide range of casino software providers

Posting Komentar

 
Santri PPKn © 2017