Banner 468 x 60px

 
Tampilkan postingan dengan label Demokrasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Demokrasi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 April 2017

Demokrasi

1 komentar

Demokrasi dan Diktatur.

Dimana-mana orang merasa tak puas. Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang diharapkan. Kemakmuran rakyat yang dicita-citakan masih jauh saja, sedangkan nilai uang makin merosot. Rencana yang terlantar banyak sekali. Keruntuhan dan kehancuran barang-barang kapital tampak dimana-mana, seperti rusaknya jalan-jalan raya, irigasi, pelahuhan, berkembangnya irosi, dan lain-lain.
Pembangunan demokrasi pun terlantar karena percekcokan politik senantiasa. Indonesia yang adil yang ditunggu-tunggu masih jauh saja. Pelaksanaan autonomi daerah dengan urusan keuangan sendiri yang lama sekali menunggu menjadi sebab timbulnya pergolakan daerah.
Daerah-daerah yang begitu banyak menghasilkan devisen buat negara, sedangkan mereka tidak melihat pembangunan didaerahnya, mulai menentang pemerintah pusat.
Sudah lebih dahulu angkatan perang merasa tak puas dengan jalannya pemerintahan ditangan partai-partai. Percekcokan politik dipusat besar pengaruhnya kebawah. Pada daerah-daerah yang belum aman, gerakan gerombolan makin menjadi. Semuanya itu harus dihadapi oleh tentera. Aturan menyiapkan diri untuk tugasnya yang sebenarnya, yaitu melatih diri dan mengadakan perlengkapan untuk menghadapi musuh dari luar, ia terus-menerus saja disuruh melakukan tugas polisi kedalam. Pada tahun 1952, pernah pimpinan angkatan perang memohon kepada Presiden supaya Presiden sudi mengakhiri cara Dewan Perwakilan Rakyat bekerja, yang selalu menimbulkan politik yang tidak stabil. Petisi itu tidak berhasil. Sebab Presiden menunjukkan kepada kedudukannya sebagai Kepala Negara yang konstitusionil.
Akhirnya pesertaan tentera dengan gerakan rakyat pada beberapa daerah untuk menentang pemerintah pusat memaksa Pemerintah pusat mengumumkan keadaan bahaya. Sejak itu mulailah campur tangan angkatan perang dalam pemerintahan. Persengketaan tentang Irian Barat yang makin memuncak memberi kesempatan kepada beberapa golongan pemuda untuk mengambil alih beberapa perusahaan Belanda yang ada di Indonesia. Untuk menghindarkan kekacauan, Pemerintah memberi tugas kepada angkatan perang untuk mengawasi semuanya itu. Dengan itu bertambah luaslah kekuasaan dan tanggung jawab yang diberikan kepada tentera. Kalau mereka yang harus bertanggung jawab dalam berbagai bidang keamanan dan keselamatan umum, maka menurut pendapat mereka sudah selayaknya mereka ikut serta dalam pemerintahan negara. Untuk menanggalkan kekuasaan partai-partai politik dalam pemerintah, tentera menganjurkan idee: kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dengan sistim Kabinet presidensiil. Cita-cita itu disokong oleh beberapa golongan kecil yang merasa berjasa dalam revolusi tahun 1945 tetapi tak pernah terhitung dalam politik selama itu. Sudah tentu dengan interpretasi sendiri! Dari kanan dan kiri Presiden didesak supaya mengambil tindakan yang tegas untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Tindakan anti konstitusionil dianjurkan!
Maka terjadilah peristiwa yang disebut tadi pada permulaan karangan ini. Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki, membuka ja1an untuk lawannya: diktatur. Seperti diperingatkan tadi, ini adalah hukum besi dari pada sejarah dunia. Tetapi sejarah dunia memberi petunjuk pula bahwa diktatur yang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistim yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistimnya itu akan rubuh dengan sendirinya seperti satu rumah dari kartu. Tidak ada seorang juga dari team kerjasama yang diadakannya itu yang mempunyai kaliber dan kewibawaan untuk meneruskannya. Tidak pula ada bayangan dalam masyarakat, bahwa sistim itu disukai orang.

Konsepsi Soekarno.

Kalau kita perhatikan golongan-golongan dalam Dewan Perwakilan Rakyat gotong-royong itu, yang akan mendukung sistim Soekarno, disitu tidak ada homogenita. Malahan mereka itu terdiri dari berbagai aliran yang bertentangan satu sama lain, yang batas-membatasi dan hambat-menghambat. Mereka dapat kerjasama dengan musyawarah karena ada Soekarno yang menentukan dan mereka meng-ia-kan.
Dalam keadaan semacam itu, tenaga-tenaga demokrasi dalam masyarakat terpaksa menunggu dengan sabar apa yang akan dilahirkan oleh konsepsi Soekarno itu. Selama politiknya didukung oleh aliran-aliran politik yang terbesar jumlahnya dan golongan yang berkuasa, semuanya dengan semangat totaliter, aliran demokrasi tidak dapat berbuat apa-apa. Semangat totaliter sedang kuat berhubung dengan pemberontakan pada beberapa daerah.
Bagi saya yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan faire chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistimnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan. Sikap ini saya ambil sejak perundingan kami yang tidak berhasil kira-kira dua tahun yang lalu. Ada ukuran yang obyektif yang akan menentukan dalam hal ini. Tercapailah atau tidak kemakmuran rakyat dengan itu, kemakmuran rakyat yang Soekarno sendiri juga menciptakannya dengan sepenuh-penuh fantasinya? Sanggupkah ia menahan kemerosotan taraf hidup rakyat dalam tempoh yang singkat? Dapatkah ia menyetop inflasi yang terus-menerus dalam waktu yang tidak terlalu lama, inflasi yang membawa orang putus harapan?
Itulah ukuran obyektif yang tepat terhadap konsepsinya itu!
Bahwa Soekarno seorang patriot yang cinta pada Tanah Airnya dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya, itu tidak dapat disangkal. Dan itulah barangkali motif yang terutama baginya untuk melakukan tindakan yang luar biasa itu, dengan tanggung jawab sepenuhnya pada dirinya. Cuma, berhubung dengan tabiatnya dan pembawaannya, dalam segala ciptaannya ia memandang garis besarnya saja. Hal-hal yang mengenai detail, yang mungkin menyangkut dan menentukan dalam pelaksanaannya, tidak dihiraukannya. Sebab itu ia sering mencapai yang sebaliknya dari yang ditujunya.
Dalam suatu kritik terhadap konsepsinya kira-kira tiga tahun yang lalu, saya bandingkan dia dengan Mephistopheles dalam hikajat Goethe’s Faust. Apabila Mephistopheles berkata, bahwa dia adalah “ein Teil jener Kräfte, die stets das Böse will und stets das Gute schafft” — satu bagian dari suatu tenaga yang selalu menghendaki yang buruk dan selalu menghasilkan yang baik —, Soekarno adalah kebalikan dari gambaran itu. Tujuannya selalu baik, tetapi langkah-langkah yang diambilnya kerapkali menjauhkan dia dari tujuannya itu. Dan sistim diktatur yang diadakannya sekarang atas nama demokrasi terpimpin akan membawa ia kepada keadaan yang bertentangan dengan cita-citanya selama ini.
Tadi saya katakan, bahwa demokrasi tidak akan lenyap dari Indonesia. Mungkin ia tersingkir sementara, seperti kelihatan sekarang ini, tetapi ia akan kembali dengan tegapnya. Memang tak mudah membangun suatu demokrasi di Indonesia yang lancar jalannya. Tetapi bahwa ia akan muncul kembali, itu tidak dapat dibantah.
Ada dua hal yang memberikan keyakinan itu kepada saya. Pertama, cita-cita demokrasi yang hidup dalam pergerakan kebangsaan dimasa penjajahan dahulu, yang memberikan semangat kepada perjuangan kemerdekaan. Kedua, pergaulan hidup Indonesia yang asli berdasarkan demokrasi, yang sampai sekarang masih terdapat didalam desa lndonesia.
Sudah biasa dalam sejarah, bahwa cita-cita yang murni dan indah tentang pergaulan hidup manusia dan bangsa lahir dalam masa penderitaan. Rakyat Indonesia menderita, berabad-abad lamanya, dibawah penjajahan Belanda. Kesengsaraan hidup, penghinaan bangsa oleh berbagai peraturan diskriminasi, pemerasan nasional dibawah suatu kekuasaan autokrasi ko­lonial, sifat pemerintahan jajahan sebagai suatu negara-polisi yang menindas segala cita-cita kemerdekaan, — semuanya itu menghidupkan dalam pangkuan pergerakan kebangsaan, cita-cita tentang persatuan Indonesia, peri-kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial. Semuanya itu tergaris sedalam-dalamnya dalam jiwa rakyat Indonesia, sekalipun mereka hanya sanggup menyatakannya secara pasif. Tetapi didalam kalbu orang pergerakan, cita-cita itu hidup sebagai keinsafan hukum, yang harus memberi corak kepada Indonesia Merdeka.
Sejak dari masa penjajahan diciptakan, bahwa Indonesia Merdeka dimasa datang mestilah NEGARA NASIONAL, bersatu dan tidak terpisah-pisah. Ia be­bas dari penjajahan asing dalam rupa apapun juga, politik maupun ideologi. Dasar-dasar peri-kemanusiaan harus terlaksana dalam segala segi penghidupan, dalam perhubungan antara orang dengan orang, antara majikan dan buruh, antara bangsa dan bangsa.
Lahir dalam perjuangan menentang penjajahan, cita-cita peri-kemanusiaan tidak saja bersifat anti-kolonial dan anti-imperialis, tetapi juga menuju kebebasan manusia dari segala tindasan. Pergaulan hidup harus diliputi oleh suasana kekeluargaan dan persaudaraan. Literatur sosialis yang banyak dibaca dan pergerakan kaum buruh Barat yang dilihat dari jauh dan dari dekat, memperkuat cita-cita itu menjadi keyakinan.

Demokrasi Indonesia.

Pengalaman dengan pemerintahan autokrasi kolonial dalam bentuk negara-polisi menghidupkan dalam kalbu pemimpin dan rakyat Indonesia cita-cita negara hukum yang demokratis. Negara itu haruslah berbentuk Republik berdasarkan Kedaulatan Rakyat. Tetapi Kedaulatan Rakyat yang dipahamkan dan dipropagandakan dalam kalangan pergerakan nasional berlainan dengan konsepsi Rousseau yang bersifat individualisme. Kedaulatan Rakyat ciptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan hidup sendiri yang bercorak kolektivisme. Demokrasi Indonesia harus pula perkembangan dari pada demokrasi Indonesia yang asli. Semangat kebangsaan yang tumbuh sebagai reaksi terhadap imperialisme dan kapitalisme Barat, memperkuat pula keinginan untuk mencari sendi-sendi bagi negara nasional yang akan dibangun kedalam masyarakat sendiri. Demokrasi Barat à priori ditolak.
Dalam mempelajari Revolusi Perancis 1789 yang terkenal sebagai sumber demokrasi Barat, ternyata bahwa trilogi “kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan”, 3 yang menjadi semboyannya, tidak terlaksana didalam praktik. Itu tidak mengherankan, karena Revolusi Perancis meletus sebagai revolusi individuil untuk kemerdekaan orang-seorang dari ikatan feodalisme. Kemerdekaan individu diutamakan. Dalam merealisasinya orang lupa akan rangkaiannya dengan persamaan dan persaudaraan.
Selagi Revolusi Perancis tujuannya hendak melaksanakan cita-cita sama rata sama rasa — sebab itu disebelah kemerdekaan individu dikemukakan persamaan dan persaudaraan —, demokrasi yang dipraktikkan hanya membawa persamaan politik. Itupun terjadi berangsur-angsur. Dalam politik, hak seseorang sama dengan yang lain: kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak untuk memilih dan dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi lebih dari itu tidak ada persamaan. Dalam perekonomian tetap berlaku dasar tidak sama. Malahan dengan berkobarnya semangat individualisme yang dihidupkan oleh Revolusi Perancis, kapitalisme subur tumbuhnya. Pertentangan kelas bertambah hebat. Dimana ada pertentangan yang hebat antara berbagai kepentingan, dimana ada golongan yang menindas dan ditindas, disitu sukar didapat persaudaraan.
Nyatalah bahwa demokrasi yang semacam itu tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan Indonesia yang menciptakan terlaksananya dasar-dasar peri-kemanusiaan dan keadilan sosial. Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Disebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia. Cita-cita keadilan sosial yang terbayang dimuka, dijadikan program untuk dilaksanakan didalam praktik hidup nasional dikemudian hari.
Jika ditilik benar-benar, ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial itu dalam kalbu pemimpin-pemimpin Indonesia diwaktu itu. Pertama, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian mereka karena dasar-dasar peri-kemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya. Kedua, ajaran Islam, yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antara manusia sebagai makhluk Tuhan, sesuai dengan sifat Allah yang Pengasih dan Penyayang. Ketiga, pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme. Paduan semuanya itu hanya memperkuat keyakinan, bahwa bangun demokrasi yang akan menjadi dasar pemerintah Indonesia dikemudian hari haruslah suatu perkembangan dari pada demokrasi asli, yang berlaku didalam desa Indonesia.
Negara-negara Indonesia lama adalah negara feodal, yang dikuasai oleh raja autokrat. Sungguhpun begitu, didalam desa-desa sistim demokrasi terus berlaku, tumbuh dan hidup sehagai adat-istiadat. Bukti ini menanam keyakinan, bahwa demokrasi Indonesia yang asli kuat bertahan, liat hidupnya. Seperti kata pepatah Minangkabau “indak lakang dek paneh, indak lapuak dek ujan”.
Demokrasi asli itu di-idealisir dalam pergerakan kebangsaan dahulu. Dan orang coba membuat konsepsi demokrasi Indonesia yang moderen, berdasarkan demokrasi desa yang asli itu.
Analisa sosial menunjukkan, bahwa demokrasi asli Indonesia kuat bertahan dibawah feodalisme, karena tanah sebagai faktor produksi yang terpenting adalah milik bersama kepunyaan masyarakat desa. Bukan kepunyaan raja. Dan sejarah sosial dibenua Barat memperlihatkan, bahwa pada zaman feodalisme milik-tanah adalah dasar kemerdekaan dan kekuasaan. Siapa yang hilang haknya atas tanah, hilang kemerdekaannya. Ia terpaksa menggantungkan hidupnya kepada orang lain; ia menjadi budak pekarangan tuan tanah.
Oleh karena dalam Indonesia dahulu kala milik tanah adalah pada masyarakat desa, maka demokrasi desa boleh ditindas hidupnya oleh kekuasaan feodal yang meliputinya dari atas, tetapi tidak dapat dilenyapkan. Berdasarkan milik bersama atas tanah, tiap-tiap orang-seorang dalam mempergunakan tenaga ekonominya merasa perlu akan persetujuan kaumnya. Kelanjutan dari pada itu didapati pula, bahwa segala usaha yang berat, yang tidak tekerjakan oleh tenaga orang-seorang, dikerjakan bersama secara gotong-royong. Bukan saja hal-hal yang menurut sistim yuridis Barat termasuk kedalam golongan hukum publik dikerjakan begitu, tetapi juga yang mengenai hal-hal privé, seperti mendirikan rumah, mengerjakan sawah, mengantar mayat kekubur, dan lain-lain.
Adat hidup semacam itu membawa kebiasaan bermusyawarah. Segala hal yang mengenai kepentingan umum dipersoalkan bersamma-sama dan keputusan diambil dengan kata sepakat. Seperti disebut dalam pepatah Minangkabau: “Bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat”. Kebiasaan mengambil keputusan dengan musyawarah dan mufakat menimbulkan institut rapat pada tempat yang tertentu, dibawah pimpinan kepala desa. Segala orang dewasa diantara anggota-anggota asli desa berhak hadir dalam rapat itu.
Ada dua anasir lagi dari pada demokrasi desa yang asli di Indonesia. Yaitu hak untuk mengadakan protes bersama terhadap peraturan-peraturan raja yang dirasakan tidak adil, dan hak rakyat untuk menyingkir dari daerah kekuasaan raja apabila ia merasa tidak senang lagi hidup disana. Benar atau tidak, yang kemudian ini sering dianggap sebagai hak orang-seorang untuk menentukan nasib sendiri. Hak mengadakan protes bersama itu biasa dilakukan sampai pada masa yang akhir ini. Apabila rakyat merasa keberatan sekali atas peraturan yang diadakan oleh pembesar daerah, maka kelihatan rakyat datang sekali banyak ke alun-alun dimuka rumahnya dan duduk disitu beberapa lama dengan tiada berbuat apa-apa. Ini merupakan suatu demonstrasi secara damai. Tidak sering rakyat Indonesia dahulu, yang bersifat sabar dan suka menurut, berbuat begitu. Akan tetapi, apabila ia sampai berbuat begitu, maka ia menjadi pertimbangan bagi penguasa, apakah ia akan mencabut kembali atau mengubah perintahnya.
Kelima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong-royong, hak mengadakan protes bersama, dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja, dipuja dalam lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok yang kuat bagi demokrasi sosial, yang akan dijadikan dasar pemerintahan Indonesia Merdeka dimasa datang. Tidak semua dari yang tampak bagus pada demokrasi desa dapat dipakai pada tingkat yang lebih tinggi dan moderen. Tetapi sebagai dasar ia dipandang terpakai. Betapapun juga, orang tak mau melepaskan cita-cita demokrasi sosial, yang banyak sedikitnya bersendi kepada organisasi sosial didalam masyarakat asli sendiri.
Dalam segi politik, dilaksanakan sistim perwakilan rakyat dengan musyawarah, berdasarkan kepentingan umum. Demokrasi desa yang begitu kuat hidupnya adalah pula dasar bagi pemerintahan autonomi yang luas didaerah-daerah, sebagai cermin dari pada “pemerintahan dari yang diperintah”.
Dalam segi ekonomi, semangat gotong-royong yang merupakan kooperasi sosial adalah dasar yang sebaik-baiknya untuk membangun kooperasi ekonomi sebagai dasar perekonomian rakyat. Keyakinan tertanam, bahwa hanya dengan kooperasi dapat dibangun kemakmuran rakyat.
Dalam segi sosial, diadakan jaminan untuk perkembangan kepribadian manusia. Manusia bahagia, sejahtera, dan susila menjadi tujuan negara.

Sumber Tulisan: https://ngaji.net/demokrasi-kita-bung-hatta/2/
Read more...

Rabu, 19 April 2017

Budaya Demokrasi

0 komentar

Suatu negara disebut negara demokrasi jika negara tersebut menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan bernegara. Demokrasi dapat berjalan jika didukung oleh warga negara yang demokratis. Budaya demokrasi harus menjadi gaya hidup bagi setiap warga bangsa karena dengan cara itulah demokrasi berdasarkan Pancasila dalam bidang politik, ekonomi ataupun sosial benar-benar dapat dijalankan.
Warga negara harus berperilaku yang demokratis agar dapat mendukung tegaknya prinsip-prinsip demokrasi di negaranya. Perilaku demokratis adalah perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi. Nilai demokrasi merupakan sesuatu yang baik, yang diyakini bermanfaat bagi terciptanya negara demokrasi. Contoh nilai demokrasi, antara lain adalah terbuka, tanggung jawab, adil, menghargai, mengakui perbedaan, anti kekerasan, damai, dan kerja sama. Berdasarkan nilai-nilai demokrasi, perilaku yang mendukung tegaknya prinsip-prinsip demokrasi adalah sebagai berikut.
1.   Menerima dan melaksanakan keputusan yang telah disepakati.
2.   Menghargai orang lain yang berbeda pendapat dan tidak memusuhinya.
3.   Berusaha menyelesaikan perbedaan pendapat atau masalah secara          damai bukan dengan kekerasan.
4.  Menerima kekalahan secara dewasa apabila telah diputuskan secara    demokratis.
5.    Memberi pendapat, kritik, ide, masukan bagi tegaknya demokrasi.
6. Bertanggung jawab atas apa yang dikemukakan dan dilakukan secara bebas.
7.  Menangani tindak kriminal sesuai dengan jalur hukum bukan dengan main hakim sendiri.

a. Penerapan Budaya Demokrasi di Lingkungan Sekitar
Demokrasi tidak datang dengan sendirinya dan budaya demokrasi tidak muncul begitu saja, melainkan harus diajarkan dan ditanamkan sejak dini, mulai dari lingkungan kecil, seperti keluarga sampai lingkungan besar, seperti negara bahkan dalam hubungan internasional.

1) Contoh penerapan demokrasi di lingkungan keluarga, antara lain adalah sebagai berikut.
a. menghargai pendapat orang tua dan saudara,
b. bertanggung jawab atas perbuatannya,
c. musyawarah untuk pembagian kerja,
d. bekerja sama untuk menyelesaikan pekerjaan dan masalah yang ada,
e. bersedia untuk menerima kehadiran saudara-saudaranya sendiri, dan
f. terbuka terhadap suatu masalah yang dihadapi.

2) Contoh penerapan budaya demokrasi di lingkungan masyarakat, antara lain adalah sebagai berikut.
a. mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya,
b. menghormati pendapat orang lain yang berbeda dengannya,
c. menyelesaikan masalah dengan mengutamakan kesepakatan,
d. tidak merasa benar atau menang sendiri dalam berbicara dengan warga lain,
e. menaati peraturan lingkungan dan hukum yang berlaku, dan
f. melibatkan diri dalam upaya memecahkan persoalan bersama.

3) Contoh penerapan budaya demokrasi di lingkungan sekolah, antara lain adalah sebagai berikut.
a. menaati peraturan disiplin sekolah,
b. menerima dengan ikhlas hasil kesepakatan,
c. bersedia untuk bergaul dengan teman sekolah tanpa diskriminasi,
d. melibatkan diri dalam upaya memecahkan persoalan bersama,
e. menerima teman yang berbeda latar belakang suku, budaya, ras, dan agama, dan mengutamakan musyawarah, membuat kesepakatan untuk menyelesaikan masalah.

Peran serta siswa dalam menerapkan budaya demokrasi dapat dilakukan dengan kegiatan pemilihan umum melalui kegiatan di sekolah, antara lain pemilihan ketua kelas, pemilihan ketua OSIS, pemilihan tugas piket, pembagian ketua kelompok diskusi, dan pemilihan ketua panitia olahraga/kesenian. Pengendalian diri juga merupakan unsur penting dari budaya demokrasi. Pengendalian diri tidak hanya berlaku dalam kehidupan bernegara, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.

1) Contoh sikap pengendalian diri dalam keluarga adalah sebagai berikut.
a. mengatur kegiatan rumah tangga dengan tertib,
b. menghindari perkataan yang menyakitkan hati orang tua/anggota keluarga,
c. selalu mengingat kebutuhan anggota keluarga yang lain.

2) Contoh sikap pengendalian diri di lingkungan sekolah adalah sebagai berikut.
a. tidak membuat gaduh ketika pelajaran berlangsung,
b. menghindari perkataan yang menyakiti hati guru atau teman, dan
c. menggunakan waktu istirahat untuk kegiatan yang positif.

3) Contoh sikap pengendalian diri di lingkungan tempat tinggal kita adalah       sebagai berikut.
a. menghindari penggunaan kata-kata yang menyakiti hati orang lain,
b. bergaul dengan tetangga dan masyarakat sekitar sesuai dengan norma lingkungan.

b. Penerapan Budaya Demokrasi di Kehidupan Bernegara
Dalam kehidupan bernegara, penerapan budaya demokrasi dapat dilakukan oleh para pemegang pemerintahan atau pemimpin politik. Apabila tingkah laku pemerintah sesuai dengan budaya demokrasi, pemerintahan ataupun lembagalembaga negara dapat berjalan secara demokratis pula. Sebaliknya, apabila tingkah laku para pemimpin jauh dari budaya demokrasi, pemerintahan atau lembagalembaga negara meskipun sudah dibuat demokratis, tidak dapat berjalan dengan baik. Contoh penerapan budaya demokrasi di lingkungan kehidupan bernegara adalah sebagai berikut:
1. Tidak memberi contoh perilaku kekerasan kepada warga,
2. Sikap terbuka dan tidak berbohong kepada publik,
3. Sikap mengedepankan kedamaian pada masyarakat,
4. Perilaku taat pada hukum dan peraturan perundang-undangan,
5. Memiliki rasa malu dan bertanggung jawab kepada publik,
6. Bersedia menerika kekalahan secara dewasa dan ikhlas.


Berpikir Kritis
Setelah kamu mempelajari dan memahami materi perilaku yang mendukung tegaknya prinsip-prinsip demokrasi, coba kamu berikan deskripsi tentang perilaku yang mendukung tegaknya prinsip demokrasi di keluargamu, sekolahmu, dan lingkungan masyarakatmu.



Daftar Pustaka:
Setyani, Rini dan Dyah Hartati. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Pembukuan Kementerian Pendidikan Nasional.

Sumber Gambar:
https://1.bp.blogspot.com
Read more...

Nilai-nilai Demokrasi

0 komentar

a. Nilai Demokrasi
Nilai-nilai demokrasi dibutuhkan untuk menjadi landasan atau pedoman berperilaku dalam negara demokrasi. Berikut adalah beberapa pendapat para ahli mengenai nilai-nilai demokrasi.
1)  Rusli Karim (1991)
Rusli Karim menyebutkan bahwa perlunya kepribadian yang demokratis meliputi inisiatif, toleransi, disposisi resiprositas, komitmen, kecintaan terhadap keterbukaan, tanggung jawab, serta kerja sama keterhubungan.
2)  Zamroni (2001)
Menurut Zamroni, demokrasi akan tumbuh kokoh jika di kalangan masyarakat tumbuh kultur dan nilai-nilai demokrasi, yakni toleransi, terbuka dalam berkomunikasi, bebas mengemukakan dan menghormati perbedaan pendapat, memahami keanekaragaman dalam masyarakat, saling menghargai, mampu mengekang diri, menjunjung nilai dan martabat kemanusiaan, percaya diri atau tidak menggantungkan diri pada orang lain, kebersamaan dan keseimbangan.
3)  Henry B. Mayo (1990)
Henry B. Mayo mengklasifikasikan 8 nilai demokrasi, yaitu pengakuan penghormatan atas kebebasan, pemajuan ilmu pengetahuan, penegakan keadilan, pengakuan dan penghormatan terhadap keanekaragaman, penggunaan paksaan sesedikit mungkin, pergantian penguasan secara teratur, penjaminan perubahan secara damai dalam masyarakat dinamis, serta penyelesaian pertikaian secara damai dan sukarela.

b. Budaya Demokrasi
Masyarakat yang menerima dan melaksanakan secara terus menerus nilainilai demokrasi dalam kehidupannya akan menghasilkan budaya demokrasi. Menurut Macridis dan Brown, terdapat ragam budaya politik yang lebih dapat menopang kehidupan politik demokratis di samping juga ragam budaya politik yang lebih menopang kehidupan politik totaliter. Budaya politik yang diwarnai oleh kerja sama atas dasar saling percaya antarwarga masyarakatnya lebih mendukung demokrasi daripada budaya politik yang diwarnai oleh rasa saling curiga, kebencian, dan saling tidak percaya dalam hubungan antarwarganya. Jadi, inti budaya demokrasi menurut kedua pakar itu adalah kerja sama, saling percaya, toleransi, menghargai keanekaragaman, kesamaderajatan, dan kompromi.
Menurut Branson, bahwa setiap warga negara dalam negara demokrasi semestinya memiliki kebijakan-kebijakan kewarganegaraan karena tanpa hal itu sistem pemerintahan demokrasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Inti dari kebajikan kewarganegaraan adalah tuntutan agar semua warga Negara menempatkan kebaikan bersama di atas kepentingan pribadi. Hal itu meliputi disposisi kewarganegaraan dan komitmen kewarganegaraan.
Disposisi kewarganegaraan, adalah sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan warga negara yang menopang perwujudan kebaikan bersama serta ber-fungsinya sistem demokrasi secara sehat. Sikap-sikap itu, antara lain adalah sebagai berikut: (1) Tanggung jawab pribadi dan kesediaan untuk menerima tanggung jawab bagi dirinya sendiri serta konsekuensi dari tindakan-tindakannya, (2) Keadaan, termasuk hormat kepada orang lain, dan penggunaan wacana yang  beradab, (3) Murah hati terhadap sesama dan masyarakat luas, (3) Mengasihi sesama, (4) Sabar dan gigih dalam mengejar tujuan bersama, (5) Toleransi terhadap keanekaragaman, (5) Disiplin diri dan kesetiaan pada aturan-aturan yang diperlukan untuk memelihara pemerintahan demokratis tanpa tekanan dari otoritas di luar dirinya sendiri.
Komitmen kewarganegaraan, adalah kesetiaan kritis warga negara terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Komitmen itu dapat dibedakan atas (1) Komitmen kepada nilai-nilai dasar demokrasi (persamaan, kemerdekaan,  persaudaraan, dan sebagainya), (2) Komitmen kepada prinsip-prinsip dasar demokrasi (persamaan politik,  pembagian kekuasaan negara, kedaulatan rakyat, dan sebagainya).

c. Pengertian Demokratisasi
Demokratisasi adalah proses mengimplementasikan demokrasi sebagai sistem politik dalam kehidupan bernegara. Miriam Budiarjo menyatakan bahwa dalam sistem politik demokrasi perlu dibentuk lembaga-lembaga demokrasi untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi. Contoh lembaga demokrasi adalah pemerintah, partai politik, pers, dewan perwakilan rakyat, dan lembaga peradilan. Demokrasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1.  Proses perubahan yang bersifat damai
Demokrasi dilakukan secara damai, tidak melalui jalan kekerasan dan di bawah ancaman. Demokrasi berjalan dengan cara musyawarah sehingga perbedaan-perbedaan yang ada diselesaikan dengan musyawarah bukan dengan kekerasan. Jika cara kekerasan yang dipakai, tentu akan timbul anarki.
2. Proses perubahan yang bersifat evolusioner
Demokratisasi tidak dilakukan dengan cepat dan revolusioner karena cara yang cepat dan revolusioner justru dapat menggagalkan demokratisasi. Jadi, demokratisasi dilakukan secara pelan, perlahan, bagian demi bagian, dan berlangsung lama.
3.  Proses perubahan yang tidak pernah selesai
Untuk menjadi negara demokrasi, usaha itu harus melalui proses yang terusmenerus, bertahap, dan berkesinambungan. Negara juga berusaha untuk memenuhi dan melengkapi agar hal itu sesuai dengan ciri-ciri negara demokrasi.

Adapun yang menjadi prinsip-prinsip demokrasi ditinjau dari pendapat Alamudi yang kemudian dikenal dengan soko guru demokrasi adalah (1) Kedaulatan rakyat, (2) Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, (3) Kekuasaan mayoritas, (4) Hak-hak minortias, (5) Jaminan Hak Asasi Manusia, (6) Pemilihan yang bebas dan jujur, (7) Persamaan di depan hukum, (8) Proses hukum yang wajar, (9) Pembatasan pemerintah secara konstitusional, (10) Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik, (11) Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Pada hakikatnya rumusan-rumusan tersebut menyatakan bahwa di negaranegara yang menganut sistem demokrasi, kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tengah rakyat dan bukan dipegang oleh penguasa secara mutlak. Hal tersebut sesuai dengan pasal 1 ayat 2 UUD 1945. Demokrasi Pancasila merupakan budaya demokrasi bercorak khas Indonesia yang mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut.
1)      Pemerintahan berdasarkan hukum.
2)      Perlindungan terhadap hak asasi manusia.
3)      Pengambilan keputusan atas dasar musyawarah.
4)      Peradilan yang merdeka.


Daftar Pustaka:
Setyani, Rini dan Dyah Hartati. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Pembukuan Kementerian Pendidikan Nasional.

Sumber Gambar:
http://assets-a2.kompasiana.com
Read more...

Pengertian Demokrasi

0 komentar
Pengertian Demokrasi
Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos dan kratos. Demos adalah rakyat sedangkan kratos adalah kekuasaan. Demokrasi berarti kekuasaan dari rakyat. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan rakyat karena rakyatlah yang berkuasa sekaligus diperintah. Arti demokrasi yang populer dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln pada tahun 1863, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintahan dari rakyat artinya pemerintah suatu negara mendapat mandat dari rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan. Rakyat merupakan pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi. Apabila pemerintah telah mendapat mandat dari rakyat untuk memimpin penyelenggaraan negara, pemerintah tersebut dianggap telah sah. Pemerintahan oleh rakyat berarti pemerintahan negara itu dijalankan oleh rakyat. Walaupun dalam praktiknya pemerintahan dijalankan oleh pemerintah, orang-orang dalam pemerintah tersebut telah dipilih dan mendapat mandat dari rakyat.
Pemerintahan untuk rakyat merupakan pemerintah yang menghasilkan dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang diarahkan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Jika kebijakan yang dihasilkan hanya untuk kepentingan sekelompok orang dan tidak berdasarkan kepentingan rakyat, pemerintahan tersebut bukan pemerintahan demokratis. Negara yang menganut asas kedaulatan rakyat atau demokrasi memiliki ciri sebagai berikut.
a.   Adanya lembaga perwakilan rakyat yang mencerminkan kehendak rakyat.
b.   Adanya pemilihan umum yang bebas dan rahasia.
c.  Adanya kekuasaan atau kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh lembaga yang bertugas mengawasi pemerintah.
d.  Adanya susunan kekuasaan badan atau lembaga negara ditetapkan dalam UUD negara.

Demokrasi sebagai Sistem Politik
Demokrasi tidak hanya merupakan bentuk pemerintahan, tetapi telah menjadi sistem politik. Sistem politik, yaitu sistem politik demokratis, memiliki ciri dan nilai-nilai demokratis. Henry B. Mayo menyatakan bahwa sistem politik demokratis adalah sistem politik yang kebijaksanaan umumnya dibuat berdasarkan prinsip mayoritas oleh para wakil rakyat dalam suatu pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip persamaan politik dan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Menurut Plato bentuk pemerintahan dapat dibedakan menjadi aristokrasi, demokrasi, dan monarki.
a. Aristokrasi, adalah bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok orang yang memimpin dan dijalankan untuk kepentingan rakyat banyak.
b. Demokrasi, adalah bentuk pemerintahan yang dipegang oleh rakyat dan dijalankan untuk kepentingan rakyat banyak.
c.  Monarki, adalah bentuk pemerintahan yang dipegang oleh seseorang sebagai pemimpin tertinggi dan dijalankan untuk kepentingan rakyat banyak.

Adapun bentuk pemerintahan secara modern menurut Marchiavelli, meliputi monarki dan republik.
a. Monarki, adalah bentuk pemerintahan yang bersifat kerajaan. Pemimpin negara umumnya bergelar raja, sultan, atau kaisar.
b. Republik, adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh presiden atau perdana menteri.

Samuel Huntington menyatakan bahwa setiap politik disebut demokrasi jika para pembuat putusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan yang jurdil (jujur dan adil). Pada awalnya pemunculan sistem politik demokrasi adalah untuk memulihkan hak asasi manusia, mengangkat harkat dan derajat manusia, serta memberi kekuasaan kepada rakyat. Negara Indonesia menganut sistem politik Demokrasi Pancasila. Kalian dapat mencermati alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dijelaskan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat atau negara demokrasi. Dan demokrasi yang diterapkan yang diterapkan di negara Indonesia adalah demokrasi yang didasarkan pada Pancasila. Demokrasi Pancasila dijiwai, disemangati, diwarnai, dan didasari oleh falsafah Pancasila. Hal ini berarti dalam menggunakan hak-hak demokrasi harus disertai tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung nilainilai kemanusiaan sesuai dengan harkat dan martabatnya. Selain itu, harus menjamin dan mempersatukan bangsa serta harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Demokrasi sebagai Pandangan Hidup
Demokrasi dipahami tidak hanya merupakan bentuk pemerintahan dan sistem politik, tetapi merupakan sebuah pandangan atau sikap hidup. Sebagai sikap hidup, demokrasi berisi nilai-nilai atau norma yang hendaknya dimiliki oleh warga yang menginginkan kehidupan demokrasi.
Menurut John Dewey, ide pokok demokrasi adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur kehidupan.
Di Indonesia yang menganut sistem demokrasi, setiap kebebasan harus dipertanggungjawabkan, baik kepada Tuhan, masyarakat, bangsa, negara, maupun diri sendiri. Dengan demikian, setiap warga negara, baik perseorangan maupun organisasi harus memegang teguh sikap bertanggung jawab. Dalam pelaksanaan demokrasi Pancasila setiap warga negara dan organisasi politik memiliki tanggung jawab menciptakan kelancaran pelaksanaan demokrasi. Hal ini tentunya menjadi tanggung jawab warga negara Indonesia untuk menjaga kelancaran pelaksanaannya. Sebagai warga negara, baik perseorangan maupun organisasi dituntut untuk tetap waspada terhadap ancaman yang akan memecah belah persatuan dan kesatuan.


Daftar Pustaka:
Setyani, Rini dan Dyah Hartati. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Pembukuan Kementerian Pendidikan Nasional.
Read more...
 
Santri PPKn © 2017