Banner 468 x 60px

 

Jumat, 28 April 2017

Demokrasi

1 komentar

Demokrasi dan Diktatur.

Dimana-mana orang merasa tak puas. Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang diharapkan. Kemakmuran rakyat yang dicita-citakan masih jauh saja, sedangkan nilai uang makin merosot. Rencana yang terlantar banyak sekali. Keruntuhan dan kehancuran barang-barang kapital tampak dimana-mana, seperti rusaknya jalan-jalan raya, irigasi, pelahuhan, berkembangnya irosi, dan lain-lain.
Pembangunan demokrasi pun terlantar karena percekcokan politik senantiasa. Indonesia yang adil yang ditunggu-tunggu masih jauh saja. Pelaksanaan autonomi daerah dengan urusan keuangan sendiri yang lama sekali menunggu menjadi sebab timbulnya pergolakan daerah.
Daerah-daerah yang begitu banyak menghasilkan devisen buat negara, sedangkan mereka tidak melihat pembangunan didaerahnya, mulai menentang pemerintah pusat.
Sudah lebih dahulu angkatan perang merasa tak puas dengan jalannya pemerintahan ditangan partai-partai. Percekcokan politik dipusat besar pengaruhnya kebawah. Pada daerah-daerah yang belum aman, gerakan gerombolan makin menjadi. Semuanya itu harus dihadapi oleh tentera. Aturan menyiapkan diri untuk tugasnya yang sebenarnya, yaitu melatih diri dan mengadakan perlengkapan untuk menghadapi musuh dari luar, ia terus-menerus saja disuruh melakukan tugas polisi kedalam. Pada tahun 1952, pernah pimpinan angkatan perang memohon kepada Presiden supaya Presiden sudi mengakhiri cara Dewan Perwakilan Rakyat bekerja, yang selalu menimbulkan politik yang tidak stabil. Petisi itu tidak berhasil. Sebab Presiden menunjukkan kepada kedudukannya sebagai Kepala Negara yang konstitusionil.
Akhirnya pesertaan tentera dengan gerakan rakyat pada beberapa daerah untuk menentang pemerintah pusat memaksa Pemerintah pusat mengumumkan keadaan bahaya. Sejak itu mulailah campur tangan angkatan perang dalam pemerintahan. Persengketaan tentang Irian Barat yang makin memuncak memberi kesempatan kepada beberapa golongan pemuda untuk mengambil alih beberapa perusahaan Belanda yang ada di Indonesia. Untuk menghindarkan kekacauan, Pemerintah memberi tugas kepada angkatan perang untuk mengawasi semuanya itu. Dengan itu bertambah luaslah kekuasaan dan tanggung jawab yang diberikan kepada tentera. Kalau mereka yang harus bertanggung jawab dalam berbagai bidang keamanan dan keselamatan umum, maka menurut pendapat mereka sudah selayaknya mereka ikut serta dalam pemerintahan negara. Untuk menanggalkan kekuasaan partai-partai politik dalam pemerintah, tentera menganjurkan idee: kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dengan sistim Kabinet presidensiil. Cita-cita itu disokong oleh beberapa golongan kecil yang merasa berjasa dalam revolusi tahun 1945 tetapi tak pernah terhitung dalam politik selama itu. Sudah tentu dengan interpretasi sendiri! Dari kanan dan kiri Presiden didesak supaya mengambil tindakan yang tegas untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Tindakan anti konstitusionil dianjurkan!
Maka terjadilah peristiwa yang disebut tadi pada permulaan karangan ini. Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki, membuka ja1an untuk lawannya: diktatur. Seperti diperingatkan tadi, ini adalah hukum besi dari pada sejarah dunia. Tetapi sejarah dunia memberi petunjuk pula bahwa diktatur yang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistim yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistimnya itu akan rubuh dengan sendirinya seperti satu rumah dari kartu. Tidak ada seorang juga dari team kerjasama yang diadakannya itu yang mempunyai kaliber dan kewibawaan untuk meneruskannya. Tidak pula ada bayangan dalam masyarakat, bahwa sistim itu disukai orang.

Konsepsi Soekarno.

Kalau kita perhatikan golongan-golongan dalam Dewan Perwakilan Rakyat gotong-royong itu, yang akan mendukung sistim Soekarno, disitu tidak ada homogenita. Malahan mereka itu terdiri dari berbagai aliran yang bertentangan satu sama lain, yang batas-membatasi dan hambat-menghambat. Mereka dapat kerjasama dengan musyawarah karena ada Soekarno yang menentukan dan mereka meng-ia-kan.
Dalam keadaan semacam itu, tenaga-tenaga demokrasi dalam masyarakat terpaksa menunggu dengan sabar apa yang akan dilahirkan oleh konsepsi Soekarno itu. Selama politiknya didukung oleh aliran-aliran politik yang terbesar jumlahnya dan golongan yang berkuasa, semuanya dengan semangat totaliter, aliran demokrasi tidak dapat berbuat apa-apa. Semangat totaliter sedang kuat berhubung dengan pemberontakan pada beberapa daerah.
Bagi saya yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan faire chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistimnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan. Sikap ini saya ambil sejak perundingan kami yang tidak berhasil kira-kira dua tahun yang lalu. Ada ukuran yang obyektif yang akan menentukan dalam hal ini. Tercapailah atau tidak kemakmuran rakyat dengan itu, kemakmuran rakyat yang Soekarno sendiri juga menciptakannya dengan sepenuh-penuh fantasinya? Sanggupkah ia menahan kemerosotan taraf hidup rakyat dalam tempoh yang singkat? Dapatkah ia menyetop inflasi yang terus-menerus dalam waktu yang tidak terlalu lama, inflasi yang membawa orang putus harapan?
Itulah ukuran obyektif yang tepat terhadap konsepsinya itu!
Bahwa Soekarno seorang patriot yang cinta pada Tanah Airnya dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya, itu tidak dapat disangkal. Dan itulah barangkali motif yang terutama baginya untuk melakukan tindakan yang luar biasa itu, dengan tanggung jawab sepenuhnya pada dirinya. Cuma, berhubung dengan tabiatnya dan pembawaannya, dalam segala ciptaannya ia memandang garis besarnya saja. Hal-hal yang mengenai detail, yang mungkin menyangkut dan menentukan dalam pelaksanaannya, tidak dihiraukannya. Sebab itu ia sering mencapai yang sebaliknya dari yang ditujunya.
Dalam suatu kritik terhadap konsepsinya kira-kira tiga tahun yang lalu, saya bandingkan dia dengan Mephistopheles dalam hikajat Goethe’s Faust. Apabila Mephistopheles berkata, bahwa dia adalah “ein Teil jener Kräfte, die stets das Böse will und stets das Gute schafft” — satu bagian dari suatu tenaga yang selalu menghendaki yang buruk dan selalu menghasilkan yang baik —, Soekarno adalah kebalikan dari gambaran itu. Tujuannya selalu baik, tetapi langkah-langkah yang diambilnya kerapkali menjauhkan dia dari tujuannya itu. Dan sistim diktatur yang diadakannya sekarang atas nama demokrasi terpimpin akan membawa ia kepada keadaan yang bertentangan dengan cita-citanya selama ini.
Tadi saya katakan, bahwa demokrasi tidak akan lenyap dari Indonesia. Mungkin ia tersingkir sementara, seperti kelihatan sekarang ini, tetapi ia akan kembali dengan tegapnya. Memang tak mudah membangun suatu demokrasi di Indonesia yang lancar jalannya. Tetapi bahwa ia akan muncul kembali, itu tidak dapat dibantah.
Ada dua hal yang memberikan keyakinan itu kepada saya. Pertama, cita-cita demokrasi yang hidup dalam pergerakan kebangsaan dimasa penjajahan dahulu, yang memberikan semangat kepada perjuangan kemerdekaan. Kedua, pergaulan hidup Indonesia yang asli berdasarkan demokrasi, yang sampai sekarang masih terdapat didalam desa lndonesia.
Sudah biasa dalam sejarah, bahwa cita-cita yang murni dan indah tentang pergaulan hidup manusia dan bangsa lahir dalam masa penderitaan. Rakyat Indonesia menderita, berabad-abad lamanya, dibawah penjajahan Belanda. Kesengsaraan hidup, penghinaan bangsa oleh berbagai peraturan diskriminasi, pemerasan nasional dibawah suatu kekuasaan autokrasi ko­lonial, sifat pemerintahan jajahan sebagai suatu negara-polisi yang menindas segala cita-cita kemerdekaan, — semuanya itu menghidupkan dalam pangkuan pergerakan kebangsaan, cita-cita tentang persatuan Indonesia, peri-kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial. Semuanya itu tergaris sedalam-dalamnya dalam jiwa rakyat Indonesia, sekalipun mereka hanya sanggup menyatakannya secara pasif. Tetapi didalam kalbu orang pergerakan, cita-cita itu hidup sebagai keinsafan hukum, yang harus memberi corak kepada Indonesia Merdeka.
Sejak dari masa penjajahan diciptakan, bahwa Indonesia Merdeka dimasa datang mestilah NEGARA NASIONAL, bersatu dan tidak terpisah-pisah. Ia be­bas dari penjajahan asing dalam rupa apapun juga, politik maupun ideologi. Dasar-dasar peri-kemanusiaan harus terlaksana dalam segala segi penghidupan, dalam perhubungan antara orang dengan orang, antara majikan dan buruh, antara bangsa dan bangsa.
Lahir dalam perjuangan menentang penjajahan, cita-cita peri-kemanusiaan tidak saja bersifat anti-kolonial dan anti-imperialis, tetapi juga menuju kebebasan manusia dari segala tindasan. Pergaulan hidup harus diliputi oleh suasana kekeluargaan dan persaudaraan. Literatur sosialis yang banyak dibaca dan pergerakan kaum buruh Barat yang dilihat dari jauh dan dari dekat, memperkuat cita-cita itu menjadi keyakinan.

Demokrasi Indonesia.

Pengalaman dengan pemerintahan autokrasi kolonial dalam bentuk negara-polisi menghidupkan dalam kalbu pemimpin dan rakyat Indonesia cita-cita negara hukum yang demokratis. Negara itu haruslah berbentuk Republik berdasarkan Kedaulatan Rakyat. Tetapi Kedaulatan Rakyat yang dipahamkan dan dipropagandakan dalam kalangan pergerakan nasional berlainan dengan konsepsi Rousseau yang bersifat individualisme. Kedaulatan Rakyat ciptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan hidup sendiri yang bercorak kolektivisme. Demokrasi Indonesia harus pula perkembangan dari pada demokrasi Indonesia yang asli. Semangat kebangsaan yang tumbuh sebagai reaksi terhadap imperialisme dan kapitalisme Barat, memperkuat pula keinginan untuk mencari sendi-sendi bagi negara nasional yang akan dibangun kedalam masyarakat sendiri. Demokrasi Barat à priori ditolak.
Dalam mempelajari Revolusi Perancis 1789 yang terkenal sebagai sumber demokrasi Barat, ternyata bahwa trilogi “kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan”, 3 yang menjadi semboyannya, tidak terlaksana didalam praktik. Itu tidak mengherankan, karena Revolusi Perancis meletus sebagai revolusi individuil untuk kemerdekaan orang-seorang dari ikatan feodalisme. Kemerdekaan individu diutamakan. Dalam merealisasinya orang lupa akan rangkaiannya dengan persamaan dan persaudaraan.
Selagi Revolusi Perancis tujuannya hendak melaksanakan cita-cita sama rata sama rasa — sebab itu disebelah kemerdekaan individu dikemukakan persamaan dan persaudaraan —, demokrasi yang dipraktikkan hanya membawa persamaan politik. Itupun terjadi berangsur-angsur. Dalam politik, hak seseorang sama dengan yang lain: kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak untuk memilih dan dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi lebih dari itu tidak ada persamaan. Dalam perekonomian tetap berlaku dasar tidak sama. Malahan dengan berkobarnya semangat individualisme yang dihidupkan oleh Revolusi Perancis, kapitalisme subur tumbuhnya. Pertentangan kelas bertambah hebat. Dimana ada pertentangan yang hebat antara berbagai kepentingan, dimana ada golongan yang menindas dan ditindas, disitu sukar didapat persaudaraan.
Nyatalah bahwa demokrasi yang semacam itu tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan Indonesia yang menciptakan terlaksananya dasar-dasar peri-kemanusiaan dan keadilan sosial. Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Disebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia. Cita-cita keadilan sosial yang terbayang dimuka, dijadikan program untuk dilaksanakan didalam praktik hidup nasional dikemudian hari.
Jika ditilik benar-benar, ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial itu dalam kalbu pemimpin-pemimpin Indonesia diwaktu itu. Pertama, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian mereka karena dasar-dasar peri-kemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya. Kedua, ajaran Islam, yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antara manusia sebagai makhluk Tuhan, sesuai dengan sifat Allah yang Pengasih dan Penyayang. Ketiga, pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme. Paduan semuanya itu hanya memperkuat keyakinan, bahwa bangun demokrasi yang akan menjadi dasar pemerintah Indonesia dikemudian hari haruslah suatu perkembangan dari pada demokrasi asli, yang berlaku didalam desa Indonesia.
Negara-negara Indonesia lama adalah negara feodal, yang dikuasai oleh raja autokrat. Sungguhpun begitu, didalam desa-desa sistim demokrasi terus berlaku, tumbuh dan hidup sehagai adat-istiadat. Bukti ini menanam keyakinan, bahwa demokrasi Indonesia yang asli kuat bertahan, liat hidupnya. Seperti kata pepatah Minangkabau “indak lakang dek paneh, indak lapuak dek ujan”.
Demokrasi asli itu di-idealisir dalam pergerakan kebangsaan dahulu. Dan orang coba membuat konsepsi demokrasi Indonesia yang moderen, berdasarkan demokrasi desa yang asli itu.
Analisa sosial menunjukkan, bahwa demokrasi asli Indonesia kuat bertahan dibawah feodalisme, karena tanah sebagai faktor produksi yang terpenting adalah milik bersama kepunyaan masyarakat desa. Bukan kepunyaan raja. Dan sejarah sosial dibenua Barat memperlihatkan, bahwa pada zaman feodalisme milik-tanah adalah dasar kemerdekaan dan kekuasaan. Siapa yang hilang haknya atas tanah, hilang kemerdekaannya. Ia terpaksa menggantungkan hidupnya kepada orang lain; ia menjadi budak pekarangan tuan tanah.
Oleh karena dalam Indonesia dahulu kala milik tanah adalah pada masyarakat desa, maka demokrasi desa boleh ditindas hidupnya oleh kekuasaan feodal yang meliputinya dari atas, tetapi tidak dapat dilenyapkan. Berdasarkan milik bersama atas tanah, tiap-tiap orang-seorang dalam mempergunakan tenaga ekonominya merasa perlu akan persetujuan kaumnya. Kelanjutan dari pada itu didapati pula, bahwa segala usaha yang berat, yang tidak tekerjakan oleh tenaga orang-seorang, dikerjakan bersama secara gotong-royong. Bukan saja hal-hal yang menurut sistim yuridis Barat termasuk kedalam golongan hukum publik dikerjakan begitu, tetapi juga yang mengenai hal-hal privé, seperti mendirikan rumah, mengerjakan sawah, mengantar mayat kekubur, dan lain-lain.
Adat hidup semacam itu membawa kebiasaan bermusyawarah. Segala hal yang mengenai kepentingan umum dipersoalkan bersamma-sama dan keputusan diambil dengan kata sepakat. Seperti disebut dalam pepatah Minangkabau: “Bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat”. Kebiasaan mengambil keputusan dengan musyawarah dan mufakat menimbulkan institut rapat pada tempat yang tertentu, dibawah pimpinan kepala desa. Segala orang dewasa diantara anggota-anggota asli desa berhak hadir dalam rapat itu.
Ada dua anasir lagi dari pada demokrasi desa yang asli di Indonesia. Yaitu hak untuk mengadakan protes bersama terhadap peraturan-peraturan raja yang dirasakan tidak adil, dan hak rakyat untuk menyingkir dari daerah kekuasaan raja apabila ia merasa tidak senang lagi hidup disana. Benar atau tidak, yang kemudian ini sering dianggap sebagai hak orang-seorang untuk menentukan nasib sendiri. Hak mengadakan protes bersama itu biasa dilakukan sampai pada masa yang akhir ini. Apabila rakyat merasa keberatan sekali atas peraturan yang diadakan oleh pembesar daerah, maka kelihatan rakyat datang sekali banyak ke alun-alun dimuka rumahnya dan duduk disitu beberapa lama dengan tiada berbuat apa-apa. Ini merupakan suatu demonstrasi secara damai. Tidak sering rakyat Indonesia dahulu, yang bersifat sabar dan suka menurut, berbuat begitu. Akan tetapi, apabila ia sampai berbuat begitu, maka ia menjadi pertimbangan bagi penguasa, apakah ia akan mencabut kembali atau mengubah perintahnya.
Kelima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong-royong, hak mengadakan protes bersama, dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja, dipuja dalam lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok yang kuat bagi demokrasi sosial, yang akan dijadikan dasar pemerintahan Indonesia Merdeka dimasa datang. Tidak semua dari yang tampak bagus pada demokrasi desa dapat dipakai pada tingkat yang lebih tinggi dan moderen. Tetapi sebagai dasar ia dipandang terpakai. Betapapun juga, orang tak mau melepaskan cita-cita demokrasi sosial, yang banyak sedikitnya bersendi kepada organisasi sosial didalam masyarakat asli sendiri.
Dalam segi politik, dilaksanakan sistim perwakilan rakyat dengan musyawarah, berdasarkan kepentingan umum. Demokrasi desa yang begitu kuat hidupnya adalah pula dasar bagi pemerintahan autonomi yang luas didaerah-daerah, sebagai cermin dari pada “pemerintahan dari yang diperintah”.
Dalam segi ekonomi, semangat gotong-royong yang merupakan kooperasi sosial adalah dasar yang sebaik-baiknya untuk membangun kooperasi ekonomi sebagai dasar perekonomian rakyat. Keyakinan tertanam, bahwa hanya dengan kooperasi dapat dibangun kemakmuran rakyat.
Dalam segi sosial, diadakan jaminan untuk perkembangan kepribadian manusia. Manusia bahagia, sejahtera, dan susila menjadi tujuan negara.

Sumber Tulisan: https://ngaji.net/demokrasi-kita-bung-hatta/2/
Read more...

Demokrasi Kita

0 komentar


Demokrasi Kita” ini ditulis Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta) pada 1960, dan dimuat di majalah Pandji Masjarakat. Tulisan itu merupakan kritik terhadap demokrasi-terpimpinnya Presiden Soekarno. Presiden berang. Pandji Masyarakat yang memuatnya kemudian di-breidel, dilarang terbit.
Di bawah ini adalah tulisan tersebut, yang kami muat kembali dalam EYD (naskah aslinya ditulis menggunakan ejaan lama). Namun, hanya aksaranya yang kami ubah (misal: ‘j’ menjadi ‘y’). Lain-lainnya, seperti penggunaan kata depan yang harus dipisah dalam EYD, tetap kami biarkan tersambung sesuai tulisan aslinya. Beberapa istilah asing juga kami biarkan tak berubah (misal: devisen/devisa; i.c/in casu/dalam hal ini; dsb.)
Selamat membaca.

Demokrasi Kita
Sejarah Indonesia sejak 10 tahun yang akhir ini banyak memperlihatkan pertentangan antara idealisme dan realita. Idealisme, yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil yang akan melaksanakan demokrasi yang sebaik-baiknya dan kemakmuran Rakyat yang sebesar-besarnya.
Realita dari pada pemerintahan, yang dalam perkembangannya kelihatan makin jauh dari demokrasi yang sebenarnya.

Tindakan-Tindakan Presiden
Apalagi sejak dua tiga tahun yang akhir ini kelihatan benar tindakan-tindakan pemerintah yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Presiden, yang menurut Undang-Undang Dasar tahun 1950 adalah Presiden konstitusionil yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diganggu-gugat, mengangkat dirinya sendiri menjadi formatir kabinet. Dengan itu ia melakukan suatu tindakan yang bertanggung jawab dengan tiada memikul tanggung jawab. Pemerintah yang dibentuk dengan cara yang ganjil itu diterima begitu saja oleh Parlemen dengan tiada menyatakan keberatan yang prinsipiil. Malahan ada yang membela tindakan Presiden itu dengan dalil “keadaan darurat”.
Kemudian Presiden Soekarno membubarkan Konstituante yang dipilih oleh Rakyat, sebelum pekerjaannya membuat Undang-Undang Dasar baru selesai. Dengan suatu dekrit dinyatakannya berlakunya kembali Undang-Undang Dasar tahun 1945.

Menurut Undang-Undang Dasar ’45 itu Presiden Republik Indonesia adalah kepala eksekutif. Parlemen yang ada menurut Undang-Undang Dasar 1950 dan tersusun menurut pemilihan umum pada tahun 1955 diakui sebagai Dewan Perwakilan Rakyat sementara sampai terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat baru berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Sungguhpun tindakan Presiden itu bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan suatu coup d’etat, ia dibenarkan oleh partai-partai dan suara yang terbanyak didalam Dewan Perwakilan Rakyat. Golongan minorita menganggap perbuatan Presiden itu sebagai suatu tindak-perkosa, tetapi menyesuaikan dirinya kepada kenyataan yang baru itu. Dengan pendirian sedemikian Dewan Perwakilan Rakyat sudah melepaskan sendiri hak-kelahirannya.

Tidak lama sesudah itu Presiden Soekarno melangkah selangkah lagi, setelah timbul perselisihan dengan Dewan Perwakilan Rakyat tentang jumlah anggaran belanja. Dengan suatu penetapan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan dan disusunnya suatu Dewan Perwakilan Rakyat baru menurut konsepsinya sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat baru itu anggotanya 261 orang, separoh terdiri dari anggota-anggota partai dan separoh lagi dari apa yang disebut golongan fungsionil, yaitu buruh, tani, pemuda, wanita, alim-ulama, cendikiawan, tentera, dan polisi. Semua anggota ditunjuk oleh Presiden. Anggota-anggota partai politik yang 130 orang itu sebagian besar dipilihnya sendiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang bersidang sampai sekarang, dengan menyingkirkan sama sekali anggota-anggota yang termasuk golongan oposisi.

Tugas Dewan Perwakilan Rakyat
Presiden Soekarno mendasarkan segala tindakannya itu atas pendapat, bahwa revolusi Indonesia untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur belum selesai. Sebelum tercapai Indonesia yang adil dan makmur, revolusi masih berjalan terus dan susunan yang ada itu bersifat sementara. Ia, katanya, tidak menentang demokrasi, malahan menuju demokrasi yang sebenarnya, yaitu demokrasi gotong-royong seperti yang terdapat dalam masyarakat Indonesia yang asli. Ia mencela demokrasi cara Barat yang berdasarkan free fight, hantam-menghantam, yang sebegitu jauh dipraktikkan di Indonesia. Free fight democracy ini menimbulkan perpecahan nasional, sehingga usaha-usaha pembangunan jadi terlantar.

Demokrasi liberal itu hendak digantinya dengan apa yang disebutnya demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin, seperti yang dimaksudnya itu, ialah suatu cara bekerja yang melaksanakan suatu program pembangunan yang direncanakan dengan suatu tindakan yang kuat dibawah suatu pimpinan. Cita-cita itu harus didukung oleh kerjasama yang baik antara empat golongan besar yang berpengaruh didalam masyarakat, yaitu golongan-golongan nasional, Islam, komunisme, dan tentera. Titik berat dari pada pemerintahan dan perundang-undangan tidak lagi terletak pada Parlemen, melainkan pada dua badan baru yaitu Dewan Nasional, yang sekarang berubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung, dan Dewan Perancang Nasional.

Dalam sistim ini, Dewan Perwakilan Rakyat tugasnya hanya memberikan dasar hukum saja kepada keputusan-keputusan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan atau usul dari dua badan tersebut tadi. Dengan cara begitu, menurut pendapat Soekarno, segala perundingan dapat berlaku dengan cepat, dengan tiada bertele-tele seperti yang terjadi didalam Dewan Perwakilan Rakyat sampai sekarang. Kedua badan tersebut, Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional, berhubung dengan susunannya seperti yang ditentukan sendiri oleh Presiden Soekarno, bisa merupakan suatu “pressure group”, golongan pendesak.
Tetapi dengan perubahan Dewan Perwakilan Rakyat yang terjadi sekarang, dimana semua anggota ditunjuk oleh Presiden, lenyaplah sisa-sisa demokrasi yang penghabisan. Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi suatu DIKTATUR yang didukung oleh golongan-golongan yang tertentu.

Krisis Demokrasi
Oleh karena itu tidak heran, kalau banyak orang menyangka, bahwa demokrasi lenyap dari Indonesia. Tetapi pendapat semacam itu tidak benar. Itu suatu pendapat yang diperoleh dari penglihatan sepintas lalu saja atas proses politik yang berlaku di Indonesia sejak beberapa tahun yang akhir ini. Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsyafan. Berlainan dari pada beberapa negeri lainnya di Asia, demokrasi disini berurat-berakar didalam pergaulan hidup. Sebab itu ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya.

Apa yang terjadi sekarang ialah KRISIS dari pada demokrasi. Atau demokrasi didalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya, dan melulu menjadi anarki, lambat-laun akan digantikan oleh diktatur. Ini adalah hukum besi dari pada sejarah dunia! Tindakan Soekarno yang begitu jauh menyimpang dari dasar-dasar konstitusi adalah akibat dari pada krisis demokrasi itu.

Demokrasi dapat berjalan baik, apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi pada pemimpin-pemimpin politik. Inilah yang kurang pada pemimpin-pemimpin partai seperti yang telah berkali-kali saya peringatkan. Pada permulaan kemerdekaan, sesudah proklamasi 17 Agustus 1945, orang merasai benar-benar tanggung jawabnya. Tetapi setelah kemerdekaan itu diakui oleh seluruh dunia, sebagai hasil dari pada Konperensi Meja Bundar di Den Haag pada akhir tahun 1949, orang lupakan syarat-syarat untuk membangun demokrasi didalam praktik.

Semangat yang ultra-demokratis, yang merajalela dalam dada pemimpin-pemimpin partai, mengubah sistim pemerintahan dari pemerintah presidensiil yang tertanam didalam Undang-Undang Dasar 1945 menjadi kabinet parlementer. Sistim kabinet parlementer seperti yang berlaku di Eropah Barat, dimana Pemerintah bertanggung jawab kepada Parlemen, orang anggap lebih demokratis dari sistim pemerintah presidensiil. Orang lupa, bahwa Indonesia dalam masa peralihan ke pemerintahan nasional yang demokratis perlu akan suatu pemerintah yang kuat. Sejarah Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 menyatakan bahwa pemerintah yang kuat di Indonesia ialah pemerintah presidensiil dibawah dwitunggal Soekarno-Hatta. Lahirnya idee dwitunggal diwaktu itu bukanlah suatu hal yang dibuat-buat, melainkan suatu kenyataan yang dikehendaki oleh keadaan.

Dimasa Republik Indonesia yang pertama itu telah dicoba mengubah sistim pemerintah presidensiil menjadi sistim kabinet parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana menteri, yang bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Alasan yang dikemukakan ialah supaya Presiden dan Wakil Presiden tetap dan tidak terganggu gugat didalam memimpin negara. Presiden dan Wakil Presiden diperlindungi oleh Kabinet yang bertanggung jawab politik yang setiap waktu dapat diganti kalau perlu. Tetapi dalam praktik ternyata bahwa bukan kabinet yang memperlindungi Presiden dan Wakil Presiden, memagari mereka dengan tanggung jawabnya, melainkan sebaliknya. Dimana-mana Presiden dan Wakil Presiden harus bertindak dengan mempergunakan kewibawaannya untuk memperlindungi kabinet dari kecaman dan serangan rakyat yang tidak puas. Sampai kedalam sidang Komite Nasional Pusat Wakil Presiden terpaksa bersuara untuk mempertahankan politik Pemerintah yang digugat dan dikecam sebehat-hebatnya oleh berbagai golongan didalamnya. Dan pada saat yang genting seperti dengan peristiwa 3 Juli 1946 orang berpegang kembali kepada Kabinet Presidensiil. Demikian juga sesudah penanda tanganan Perjanjian Renville pada permulaan tahun 1948, yang menimbulkan perpecahan besar dan pertentangan politik yang hebat dalam masyarakat, orang kembali kepada pemerintah presidensiil dibawah Wakil Presiden. Pemerintah itulah yang stabil sampai pada pemulihan kedaulatan pada akhir tahun 1949 oleh Nederland.

Tetapi sesudah itu semangat ultra-demokratis muncul kembali. Dalam Undang-Undang Dasar 1950 ditetapkan sistim kabinet parlementer. Dwitunggal Soekarno-Hatta dijadikan simbol negara belaka dalam kedudukan Presiden dan Wakil Presiden yang konstitusionil, yang tidak dapat diganggu-gugat. Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri. Dan mulai saat itu tamatlah pada hakekatnya sejarah dwitunggal dalam politik Indonesia.

Pelaksanaan Demokrasi
Negara baru yang dibentuk dari menggabungkan 16 negara bagian Republik Indonesia Serikat menurut putusan KMB menjadi suatu negara kesatuan yang daerahnya meliputi seluruh Indonesia dengan Irian Barat sebagai daerah sengketa — negara baru ini akan menghadapi seribu satu soal dan kesulitan. Justeru pada saat itu dua orang yang benar-benar mempunyai kewibawaan dibebaskan dari pimpinan negara yang riil dan dijadikan simbol belaka.

Sebenarnya ada suatu pertentangan perasaan dari dalam yang sukar mengatasi. Sistim dwitunggal itu sudah menjadi suatu mitos yang mempengaruhi jalan pikiran bangsa kita. Dalam alam pikiran rakyat yang banyak, segala kesulitan akan dapat diatasi selama dwitunggal itu berada diatas pucuk pimpinan negara. Sebaliknya orang ingin mempunyai suatu sistim pemerintahan yang lebih demokratis, yaitu dimana Pemerintah bertanggung jawab kepada Parlemen setiap waktu. Menurut jalan pikiran ini, diantara badan-badan yang kerjasama dalam melakukan pemerintahan, Parlemen dan Pemerintah, Parlemenlah yang terkuat. Sistim itu tidak jalan terhadap dwitunggal dengan kewibawaannya yang besar terhadap rakyat. Dalam pada itu ada pula aliran yang berpendapat bahwa figur orang yang dua itu akan menjadi penghalang bagi tenaga-tenaga politik baru untuk maju kemuka. Ini merugikan bagi latihan demokrasi. Sebab itu perlu mereka meluangkan tempat dalam kekuasaan politik bagi pemimpin-pemimpin yang lain itu.

Segala pertimbangan itu melupakan kepentingan yang lebih besar dan mendesak diwaktu itu, yaitu bahwa negara perlu akan suatu pemerintah yang kuat yang mempunyai kewibawaan besar untuk mengatasi berbagai kesulitan.

Salah satu dari kesulitan yang terutama ialah bahwa cita-cita demokrasi memang ada di Indonesia, tetapi pelaksanaannyalah yang kurang. Selain dari itu pengalaman dalam pemerintahan demokrasi sedikit sekali: diluar daerah Republik Indonesia yang pertama yang hanya meliputi Jawa dan Sumatera hampir tak ada. Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang pertama kali mewakili seluruh Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1950 bukanlah anggota yang dipilih oleh rakyat, melainkan diangkat oleh Pemerintah negara-negara bagian lama. Lebih dari separoh berasal dari pegawai negeri yang dalam zaman Hindia Belanda tidak mempunyai pengalaman politik.

Sebab itu tidak mengherankan kalau didalam Dewan Perwakilan Rakyat itu jumlah partai politik mangkin lama mangkin banyak. Akhirnya terdapat 19 buah. Orang dapat mengira betapa sulitnya membentuk suatu Pemerintah yang akan memperoleh dukungan oleh suara yang terbanyak didalam Dewan Perwakilan Rakyat. Tiap-tiap pemerintah mempunyai corak pemerintah koalisi, tersusun dari sedikit-dikitnya 7 atau 8 partai. Alangkah sulitnya menyusun program bersama dan menyetujui orang-orang yang akan duduk sebagai menteri. Dan kalau Pemerintah sudah berjalan dan kemudian ada partai dalam koalisi itu yang tidak mendapat kepuasan, lalu ia menarik menterinya keluar. Maka timbullah krisis kabinet. Kabinet jatuh karena kelemahan dari dalam, bukan karena votum dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Berkali-kali Pemerintah mengundurkan diri, tetapi belum ada yang jatuh dimuka Parlemen karena salah suatu votum tidak-percaja. Dengan sendirinya pemerintah-pemerintah semacam itu, yang setiap waktu menghadapi soal politik didalam dan diluar Dewan Perwakilan Rakjat, tidak cukup mempunyai kesempatan untuk memikirkan soal ekonomi dan pembangunan. Rencana yang diperbuat sudah terlantar lagi kalau Pemerintah sudah jatuh. Pemerintah yang menggantikan memikirkan lagi rencana baru.

Sesudah pemilihan umum tahun 1955, jumlah partai itu tidak berkurang, malahan bertambah sampai 28. Ini disebabkan oleh sistim pemilihan yang terlalu demokratis. Sebenarnya tiga partai yang terbesar didalam Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu PNI, Masyumi, dan Nahdatul Ulama memperoleh suara terbanyak yang mutlak. Tetapi diantara Masyumi dan dua lainnya itu sukar mencapai persesuaian paham.

Kalau dinegeri-negeri yang sudah lama menjalankan demokrasi masih terdapat perbuatan menyalah-gunakan kekuasaan, apalagi dalam negeri yang masih muda seperti Indonesia. Bagi beberapa golongan, menjadi partai pemerintah berarti “membagi rezeki”. Golongan sendiri dikemukakan, masyarakat dilupakan. Seorang menteri memperoleh tugas dari partainya untuk melakukan tindakan-tindakan yang memberi keuntungan bagi partainya. Seorang menteri perekonomian misalnya menjalankan tugasnya itu dengan memberikan lisensi dengan bayaran yang tertentu untuk kas partainya. Atau dalam pembagian lisensi itu kepada pedagang dan importir atau exportir, orang yang separtai dengan dia didahulukannya. Keperluan uang untuk biaya pemilihan umum menjadi sebab kecurangan itu.

Partai yang pada hakekatnya alat untuk menyusun pendapat umum secara teratur, agar supaya rakyat belajar merasa tanggung jawabnya sebagai pemangku negara dan anggota masyarakat, — partai itu dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya.

Juga dalam hal menempatkan pegawai pada jabatan umum didalam dan diluar negeri, orang lupa akan dasar tanggung jawab dan toleransi dalam demokrasi. Seringkali keanggotaan partai menjadi ukuran, bukan dasar “the right man in the right place”. Pegawai yang tidak berpartai atau partainya duduk dibangku oposisi merasa kehilangan pegangan dan menjadi patah hati. Ini merusak ketenteraman jiwa bekerja, mendorong orang kejalan curang dan korupsi mental. Aturan memperkuat budi pekerti, karakter pegawai, dengan politik kepartaian itu orang menghidupkan yang sebaliknya, mengasuh orang luntur karakter. Akhirnya orang masuk partai bukan karena keyakinan, melainkan karena ingin memperoleh jaminan.

Suasana politik semacam itu memberi kesempatan kepada berbagai jenis petualang politik dan ekonomi serta manusia profetir maju kemuka. Segala pergerakan dan semboyan nasional diperalatkan mereka, partai-partai politik ditungganginya, untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. Maka timbullah anarki dalam politik dan ekonomi. Kelanjutannya, korupsi dan demoralisasi merajalela.


Sumber Tulisan: https://ngaji.net/demokrasi-kita-bung-hatta/
Sumber Gambar: http://2.bp.blogspot.com dan https://ecs7.tokopedia.net
Read more...

Kamis, 27 April 2017

Hubungan dan Kerja Sama Internasional

0 komentar



Hubungan internasional pada dasarnya merupakan keinginan antarbangsa untuk bekerja sama dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Tuntutan untuk saling memenuhi kebutuhan itulah yang menyebabkan manusia saling mengadakan hubungan dan kerja sama. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hubungan dan kerja sama timbul karena adanya kebutuhan yang disebabkan, antara lain, oleh pembagian kekayaan alam dan perkembangan industri yang tidak merata di dunia. Jadi, ada saling ketergantungan dan membutuhkan antarbangsa. Hal ini mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan terus-menerus antarbangsa, yang menumbuhkan kesadaran untuk memelihara dan mengatur hubungan tersebut.
Arti penting hubungan dan kerja sama internasional itu, antara lain : (1) Menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara, kelangsungan keberadaan dan kehadirannya di tengah bangsa-bangsa lain, (2) Membangun solidaritas dan sikap saling menghormati antarbangsa; (3) Berpartisipasi dalam rangka ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial; (4) Membantu bangsa lain yang terancam keberadaannya sebagai akibat dari pelanggaran atas hak-hak kemerdekaan yang dimiliki; (5) Mencegah dan menyelesaikan konflik, perselisihan, permusuhan atau persengketaan yang mengancam perdamaian dunia sebagai akibat adanya kepentingan nasional yang berbeda di antara bangsa dan negara di dunia; (6) Memelihara dan menciptakan hidup berdampingan secara damai dan adil dengan bangsa lain; (7) Mengembangkan cara penyelesaian masalah secara damai melalui perundingan dan diplomasi yang lazim ditempuh oleh negara-negara beradab, cinta damai, dan berpegang kepada nilai-nilai etik dalam pergaulan antar bangsa. 
Negara yang tidak mau melakukan hubungan internasional biasanya menjadikan negara tersebut terkucil dari pergaulan internasional dan semakin lama akan semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.


Faktor-faktor Penentu dalam Hubungan Internasional
a. Kekuatan nasional
b. Jumlah penduduk
c. Sumber daya (SDM dan SDA)
d. Letak geografis

Sarana Hubungan Internasional
Menurut J. Frangkel, sarana-sarana yang dapat digunakan oleh negara-negara dalam hubungan internasional adalah sebagai berikkut.
a. Diplomasi
Diplomasi diperlukan sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan nasional dalam hubungan antarbangsa. Kata diplomasi menunjuk pada seluruh kegiatan untuk melaksanakan politik luar negeri suatu negara dalam hubungannya dengan bangsa dan negara lain.
Menurut Sumarsono Mestoko, diplomasi mencakup kegiatan sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan dengan menggunakan semua daya dan tenaga untuk mencapai tujuan tersebut,
2. Menentukan apakah tujuan nasional sejalan atau berbeda dengan kepentingan bangsa atau negara lain,
3. Menyesuaikan kepentingan dari bangsa lain dengan kepentingan nasional sesuai dengan daya dan tenaga yang ada padanya,
4. Menggunakan sarana dan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya.

Departemen luar negeri adalah sentral dari politik luar negeri. Di departemen luar negeri diolah bahan dari semua sumber untuk merumuskan langkah-langkah penting dalam hubungan antarbangsa. Perwakilan diplomatik merupakan ”pancaindra dan penyambung lidah” dari negara yang diwakilinya. Diplomat memiliki tiga fungsi dasar dalam mewakilii negara dan bangsanya, yakni sebagai berikut.
1)   Sebagai lambang Diplomat merupakan lambang dari prestise nasional di luar negeri. Di dalam upacara-upacara resmi seperti resepsi dan undangan makan kenegaraan atau upacara kebesaran lainnya, seorang diplomat mewakili kepala negara pengirim.
2)  Sebagai wakil yuridis yang sah menurut hukum/hubungan internasional Seorang diplomat bertindak sebagai perwakilan yuridis yang resmi dari pemerintah. Diplomat dapat membuat dan menandatangani perjanjian yang mengikat secara hukum, mengumumkan pernyataan, dan memiliki wewenang untuk merotasifikasi dokumen atau mengumumkan dokumen yang telah disahkan oleh negara pengirim.
3)  Sebagai perwakilan diplomatik. Diplomat meneruskan semua keinginan negara pengirim sesuai dengan kebijakan yang telah dirumuskan. Diplomat juga harus melaporkan semua keadaan mengenai politik, ekonomi, sosial budaya, dan militer ke negara pengirim.



Menurut Suwardi Wiriatmadja tugas pokok para diplomat, antara lain
a)   Melaksanakan politik/kebijakan dari negaranya sendiri;
b)   Melindungi kepentingan negara dan warga negaranya;
c) Memberikan informasi, bahan, bahan keterangan, laporan kepada pemerintahnya tentang perkembangan-perkembangan penting di dunia.

Tugas diplomat dibagi dalam empat fase pokok dari diplomasi, yaitu sebagai berikut.
(1)  Perwakilan
Diplomat adalah wakil resmi negaranya di negara lain. Diplomat merupakan agen/pejabat komunikasi antara departemen luar negerinya dan departemen luar negeri dari negara tempat ia berada.
(2)  Perundingan
Diplomat merupakan orang yang melakukan perundingan dalam rangka merencanakan pelbagai macam persetujuan bilateral dan multilateral yang dituangkan melalui perjanjian-perjanjian yang bersifat politik, ekonomi, dan sosial.
(3)  Laporan
Laporan yang dikirimkan oleh para diplomat dari perwakilan di luar negeri merupakan bahan untuk menyusun dan menetapkan politik luar negeri.

b. Propaganda
Propaganda merupakan usaha sistematis yang digunakan untuk memengaruhi pikiran, emosi, dan tindakan suatu kelompok demi kepentingan masyarakat umum. Propaganda berbeda dengan diplomasi dalam dua hal, yakni sebagai berikut:
1. Propaganda lebih ditujukan pada rakyat negara lain daripada kepada pemerintahannya,
2. Propaganda dilakukan untuk kepentingan diri sendiri, tidak ada usaha untuk mencari kompromi antara kepentingan-kepentingan negara yang bersaing, tujuannya benar-benar untuk keuntungan negara yang melakukan propaganda itu.

c. Ekonomi
Sarana ekonomi digunakan secara luas dalam hubungan internasional baik dalam masa damai maupun masa perang. Pada tingkat tertentu semua negara harus terlibat dalam perdagangan internasional untuk memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi sendiri, sebaliknya mereka juga menjual barang ke negara lain sehingga mampu membayar apa yang diimpornya dengan keuntungan dari hasil penjualan tersebut.

d. Kekuatan Militer
Peralatan militer yang memadai dapat menambah keyakinan dan stabilitas untuk berdiplomasi. Diplomasi tanpa dukungan kekuatan militer yang kuat membuat suatu negara tak memiliki rasa percaya diri. Mereka tak mampu menghindari tekanan-tekanan dan ancaman-ancaman yang dilancarkan lawan yang dapat mengganggu kepentingan nasionalnya. Meskipun peralatan kemiliteran dapat digunakan, negara-negara lebih memilih kebijakan yang bersifat preventif (pencegahan) dalam hubungan internasional demonstrasi peralatan militer, termasuk senjata nuklir, hanya untuk memperingatkan lawan atau membuat lawan berpikir ulang jika berniat
menyerang. Strategi pencegahan merupakan prioritas dalam menciptakan stabilitas dan ketertiban internasional. Perang merupakan cara terakhir yang ditempuh jika semua sarana diplomasi damai gagal dalam memecahkan masalah.



Daftar Pustaka


Suwarni. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Arya Duta

Sumber Gambar:
https://img.memesuper.com
http://chem.its.ac.id
https://1.bp.blogspot.com
Read more...

Hubungan Internasional

0 komentar

Secara kodrati, manusia adalah makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai individu manusia adalah makhluk monodualis yang terdiri atas jiwa dan raga. Ciri khas adanya manusia adalah eksistensi artinya keluar dari dirinya sendiri, tebuka terhadap dunia luar, yaitu mampu mengolahnya secara kreatif dalam memenuhi kebutuhannya. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan manusia lainnya sehingga terjalin kerja sama, saling membantu, saling mendukung, memajukan dan mengembangkan untuk kepentingan bersama. Aristoteles menggambarkan manusia sebagai zoon politican, yakni makhluk yang selalu berkeinginan untuk hidup berkelompok dengan sesamanya.
Sebagai makluk ciptaan Tuhan, manusia dikaruniai akan budi untuk dapat mengenal, menerima, menghayati, dan mengamalkan ajaran Tuhan dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Manusia sebagai makluk sosial memerlukan dan membentuk berbagai persekutuan hidup untuk menjaga kelangsungannya. Sudah menjadi sifat alamiah bahwa hidup berkelompoknya manusia hanya akan berlangsung dalam suasana saling menghormati, saling bergantung dan saling bekerja sama. Hal ini tercantum dalam alinea I Mukadimah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Piagam ini merupakan kristalisasi semangat atau tekad bangsa-bangsa di dunia untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai kodrati pemberian Tuhan. Oleh sebab itu, hubungan antara bangsa yang satu dan yang lain wajib saling menghormati, bekerja sama secara adil dan damai untuk mewujudkan kerukunan hidup antarbangsa. Hubungan antarbangsa disebut juga dengan hubungan internasional.
Isi piagam PBB dapat diambil maknanya sebagai berikut.
1) Bangsa-bangsa diharapkan hidup berdampingan secara damai
2) Bangsa yang satu tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada bangsa yang lainnya.
3)  Bangsa-bangsa tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri negara lain
4)  Bangsa-bangsa wajib menghormati kedaulatan negara lainnya
5)  Bangsa-bangsa diharapkan dapat saling menghormati dan berkerja sama atas dasar persamaan dan kekeluargaan.


Pengertian Hubungan Internasional
Hubungan internasional merupakan kegiatan interaksi manusia antarbangsa baik secara individual maupun secara kelompok. Secara sederhana para ahli hukum mengartikan hubungan internasional sebagai hubungan antarbangsa. Wujud hubungan internasional dapat berupa hubungan individual, Antara kelompok, antarnegara. Adapun sifat hubungan antarbangsa dapat berupa persahabatan, ataupun permusuhan, persengketaan, dan peperangan.
    Konsep hubungan internasional berkaitan erat dengan subjek-subjek internasional, seperti organisasi internasional, diplomasi, hukum internasional, dan politik internasional. Organisasi internasional seperti Asia Afrika, ASEAN, PBB, Organisasi perdagangan dunia (WTO), dan sebagainya berperan besar untuk menjembatani kepentingan berbagai negara. Berikut pengertian dari beberapa ahli mengenai definisi hubungan internasional.
a. Charles A. Mc. Clelland
   Hubungan internasional adalah studi tentang keadaan-keadaan relevan yang mengelilingi interaksi.
b. Warsito Sunaryo
  Hubungan inernasional merupakan studi tentang interaksi antara jenis kesatuan-kesatuan sosial tertentu, termasuk studi tentang keadaan relevan yang mengelilingi interaksi.
c. Mochtar Masoed
 Hubungan internasional merupakan bagian dari studi ilmu sosial yang mempelajari tentang interaksi setiap negara di dunia dalam segala hubungan internasional yang meliputi Poleksosbudhankam.
d. Mochtar Kusumaatmadja
   Hubungan internasional merupakan hubungan antarbangsa dan berkembang pula kebiasaan-kebiasaan atau peraturan-peraturan hukum yang merupakan kesepakatan bersama.

Ada tiga asas dalam Hubungan Internasional:
a.    Asas Teritorial
Asas yang didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya. Negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan semua barang yang ada di wilayahnya.
b.    Asas Kebangsaan
Asas yang didasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negaranya sehingga setiap warga negara dimana pun berada tetap mendapatkan perlakuan dari negaranya.
c.    Asas Kepentingan Umum
Asas yang didasarkan pada wewenang negara untuk melindungi dan mengatur kepentingan dalam kekuasaan bermasyarakat.
Faktor Penentu dalam Hubungan Internasional:
a.   Kekuatan Nasional
b.   Jumlah Penduduk
c.   Sumber Daya (SDM dan SDA)
d.   Letak Geografi



Pola Hubungan Antarbangsa
a. Pola Penjajahan
Pola hubungan ini timbul sebagai akibat dari perkembangan kapitalisme. Sistem kapitalisme membutuhkan bahan mentah untuk industri dalam negerinya, sedangkan bahan mentah ada di luar negeri. Oleh sebab itu, timbul keinginan untuk menguasai wilayah bangsa lain guna mengambil kekayaan bangsa lain. Penguasaan wilayah dalam rangka kekayaan bangsa lain merupakan inti dari kolonialisme dalam sejarah hubungan antarbangsa.
b. Pola Hubungan Ketergantungan
Pola hubungan ini terjadi di antara negara-negara yang belum berkembang dengan negara maju. Demi menyejahterakan rakyatnya, negara-negara dunia ketiga melakukan pembangunan ekonomi, mengembangkan industri dan bersaing dengan negara maju di pasar global. Akan tetapi, karena tidak memiliki modal dan teknologi untuk melakukan semua itu secara mandiri, timbullah ketergantungan pada modal dan teknologi negara-negara maju.
c. Pola Hubungan Sama Derajat Antarbangsa
Dalam pola ini, hubungan antarbangsa dilakukan dalam rangka kerja sama untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Sila kedua Pancasila menggariskan bahwa hubungan antarbangsa/antarnegara harus bertolak pada kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang merdeka dan sama derajatnya. Oleh sebab itu, hubungan antarbangsa haruslah diwarnai oleh penghormatan atas kodrat manusia sebagai makhluk yang sederajat tanpa memandang ideologi, bentuk negara, dan sistem pemerintahan negara lain tersebut. Melalui prinsip itu, nasionalisme bangsa Indonesia tidak jatuh ke paham chauvinisme dan kosmopolitisme. Chauvinisme adalah paham yang mengagungagungkan bangsa sendiri dan memandang rendah bangsa lain. Kosmopolitisme adalah pandangan yang melihat kosmos (seluruh dunia) sebagai polis (negeri) sendiri sehingga cenderung melupakan nasionalisme yang sehat dan mengabaikan warisan serta tugas terhadap bangsanya sendiri.



Daftar Pustaka
Suwarni. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Arya Duta
Setyani, Rini dan Dyah Hartati. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Pembukuan Kementerian Pendidikan Nasional.

Sumber Gambar:
http://www.pikiran-rakyat.com
http://4.bp.blogspot.com
https://3.bp.blogspot.com
Read more...
 
Santri PPKn © 2017