Budaya politik
menunjuk pada orientasi dari tingkah laku individu dan/atau masyarakat terhadap
sistem politik. Budaya politik dapat digolongkan ke dalam tiga tipe, yakni
sebagai berikut.
1.
Budaya Politik Parokial
Budaya politik ini terbatas pada satu wilayah atau
lingkup yang kecil. Dalam budaya politik parokial, orientasi politik warga
terhadap keseluruhan objek politik dapat dikatakan rendah karena anggota
masyarakat cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik yang
luas, kecuali dalam batas tertentu di tempat mereka tinggal. Ciri-ciri budaya
politik parokial adalah sebagai berikut.
a. Budaya
politik ini berlangsung dalam masyarakat yang masih tradisional dan sederhana.
b. Belum
terlihat peran-peran politik yang khusus; peran politik dilakukan serempak
bersamaan dengan peran ekonomi, keagamaan, dan lain-lain.
c. Kesadaran
anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan atau kekuasaan dalam
masyarakatnya cenderung rendah.
d. Warga
cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik yang luas, kecuali
yang ada di sekitarnya.
e. Warga
tidak banyak berharap atau tidak memiliki harapan-harapan tertentu dari sistem
politik tempat ia berada.
2.
Budaya Politik Subjek
Menurut Mochtar Masoed dan Colin Mac Andrews (2000),
budaya politik subjek menunjuk pada orang-orang yang secara pasif patuh pada
pejabat-pejabat pemerintahan dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri
dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan. Ciri-ciri budaya
politik subjek adalah sebagai berikut.
a. Warga
menyadari sepenuhnya akan otoritasi pemerintah.
b. Tidak
banyak warga yang memberi masukan dan tuntutan kepada pemerintah, tetapi mereka
cukup puas untuk menerima apa yang berasal dari pemerintah.
c. Warga
bersikap menerima saja putusan yang dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak
boleh dikoreksi, apalagi ditentang.
d. Sikap
warga sebagai aktor politik adalah pasif; artinya warga tidak mampu berbuat
banyak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.
e. Warga
menaruh kesadaran, minat, dan perhatian terhadap sistem politik pada umumnya
dan terutama terhadap objek politik output, sedangkan kesadarannya
terhadap input dan kesadarannya sebagai aktor politik masih rendah.
3.
Budaya Politik Partisipan
Menurut pendapat Almond dan Verba (1966), budaya
politik partisipan adalah suatu bentuk budaya yang berprinsip bahwa anggota
masyarakat diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem sebagai keseluruhan
dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif. Dalam budaya
politik partisipan, orientasi politik warga terhadap keseluruhan objek politik,
baik umum, input dan output, maupun pribadinya dapat dikatakan
tinggi. Ciri ciri dari budaya politik partisipan adalah sebagai berikut.
a. Warga
menyadari akan hak dan tanggung jawabnya dan mampu mempergunakan hak itu serta menanggung
kewajibannya.
b. Warga
tidak menerima begitu saja keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin tetapi
dapat menilai dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik keseluruhan, input,
output maupun posisi dirinya sendiri.
c. Anggota
masyarakat sangat partisipatif terhadap semua objek politik, baik menerima
maupun menolak suatu objek politik.
d. Masyarakat
menyadari bahwa ia adalah warga negara yang aktif dan berperan sebagai aktivis.
e. Kehidupan
politik dianggap sebagai sarana transaksi, seperti halnya penjual dan pembeli.
Warga dapat menerima berdasarkan kesadaran, tetapi juga mampu menolak
berdasarkan penilaiannya sendiri.
Bagaimana dengan budaya politik di Indonesia? Ada
beragam pandangan mengenai budaya politik Indonesia. Keragaman pendapat ini
dimungkinkan karena persoalan budaya politik itu dilihat dari sudut pandang
yang berbeda. Rusadi Kartaprawira dalam bukunya Sistem Politik di Indonesia menyatakan
adanya beberapa ciri dari budaya politik Indonesia, antara lain adalah sebagai
berikut.
a. Sifat
ikatan primordial masih kuat yang dikenali melalui indikator yang berupa
sentimen kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan.
b. Budaya
politik Indonesia bersifat parokial subjek di satu pihak dan partisipasi di
lain pihak.
c. Ada
subbudaya yang banyak dan beraneka ragam. Hal ini terjadi karena Indonesia
memiliki banyak suku yang masing-masing memiliki budaya sendiri-sendiri.
d. Kecenderungan
budaya politik Indonesia masih mengukuhi sifat paternalism dan sifat
patrimonial. Sebagai indikator, misalnya adalah perilaku menyenangkan atasan.
Affan Gaffar (1999) dalam bukunya Politik
Indonesia Transisi Menuju Demokrasi mengatakan
bahwa budaya politik Indonesia memiliki tiga ciri dominan yaitu sebagai
berikut:
1.
Hierarki yang tegas
Sebagian besar masyarakat Indonesia bersifat
hierarkis yang menunjukkan adanya pembedaan atau tingkatan atas dan bawah. Stratifikasi
sosial yang hierarkis ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa
dan rakyat kebanyakan. Masing-masing terpisah melalui tatanan hierarkis yang
sangat ketat. Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu
antara lain tercermin pada cara penguasa memandang dirinya dan rakyatnya.
Mereka cenderung merendahkan rakyatnya. Karena penguasa sangat baik, pemurah,
dan pelindung, sudah seharusnya rakyat patuh, tunduk, setia, dan taat kepada penguasa
negara. Bentuk negatif lainnya dapat dilihat dalam soal kebijakan publik. Penguasa
membentuk semua agenda publik, termasuk merumuskan kebijakan publik, sedangkan
rakyat cenderung disisihkan dari proses politik. Rakyat tidak diajak berdialog dan kurang didengar aspirasinya.
2. Kecenderungan patronage
Kecenderungan patronage,
adalah kecenderungan pembentukan pola hubungan patronage, baik di
kalangan penguasa dan masyarakat maupun pola hubungan patron-client. Pola
hubungan ini bersifat individual. Antara dua individu, yaitu patron dan client,
terjadi interaksi timbal balik dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki
masing-masing. Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan,
perlindungan, perhatian dan kasih sayang, bahkan materi. Kemudian, client memiliki
sumber daya berupa dukungan, tenaga, dan kesetiaan. Menurut Yahya Muhaimin,
dalam sistem bapakisme (hubungan bapak-anak), ”bapak” (patron) dipandang
sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan kebutuhan material dan bahkan spiritual
serta pelepasan kebutuhan emosional ”anak” (client). Sebaliknya, para
anak buah dijadikan tulang punggung bapak.
3.
Kecenderungan Neo-patrimonialistik
Dikatakan neo-patrimonalistik karena negara memiliki
atribut atau kelengkapan yang sudah modern dan rasional, tetapi juga masih
memperhatikan atribut yang patrimonial. Negara masih dianggap milik pribadi
atau kelompok pribadi sehingga diperlakukan layaknya sebuah keluarga. Menurut Max Weber, dalam negara yang patrimonalistik
penyelenggaraan pemerintah berada di bawah kontrol langsung pimpinan negara.
Adapun menurut Affan Gaffar, negara patrimonalistik memiliki sejumlah
karakteristik sebagai berikut.
a. Penguasa
politik seringkali mengaburkan antara kepentingan umum dan kepentingan publik.
b. Rule
of law lebih bersifat sekunder apabila dibandingkan dengan
kekuasaan penguasa.
c. Kebijakan
seringkali bersifat partikularistik daripada bersifat universalistik.
d. Kecenderungan
untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang penguasa kepada
teman-temannya lebih besar.
Selanjutnya, manakah sesungguhnya budaya politik
Indonesia? Karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen atas dasar
suku, daerah, dan agama maka di Indonesia terdapat banyak subbudaya politik.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berprinsip Bhinneka Tunggal Ika sehingga
semua bentuk subbudaya yang ada di Indonesia adalah budaya politik nasional.
Salah satu aspek penting dalam sistem politik adalah
budaya politik yang mencerminkan faktor subjektif. Budaya politik mengutamakan
segi psikologis dari suatu sistem politik. Demokrasi Pancasila adalah suatu
paham demokrasi yang bersumber pada pandangan atau filsafat hidup bangsa
Indonesia yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Demokrasi
Pancasila pada hakikatnya adalah sarana atau alat bagi bangsa Indonesia untuk
mencapai tujuan Negara sebagaimana telah dirumuskan di dalam Pembukaan UUD
1945. Budaya Politik Pancasila akan mengarahkan keseluruhan dari
pandangan-pandangan politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi seperti
politik dan pandangan hidup pada umumnya berdasarkan pada nilai-nilai
Pancasila.
Adapun sistem politik Indonesia sesuai dengan amanat
UUD 1945 pasal 1 ayat (2) adalah sistem politik demokrasi, yaitu kedaulatan di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Budaya politik yang
sesuai, selaras, dan sebangun dengan sistem.
Daftar Pustaka:
Setyani, Rini dan Dyah Hartati. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta:
Pusat Kurikulum dan Pembukuan Kementerian Pendidikan Nasional.
0 komentar:
Posting Komentar