“Demokrasi Kita” ini ditulis Dr.
Mohammad Hatta (Bung Hatta) pada 1960, dan dimuat di majalah Pandji
Masjarakat. Tulisan itu merupakan kritik terhadap
demokrasi-terpimpinnya Presiden Soekarno. Presiden berang. Pandji Masyarakat yang
memuatnya kemudian di-breidel, dilarang terbit.
Di bawah ini adalah
tulisan tersebut, yang kami muat kembali dalam EYD (naskah aslinya ditulis
menggunakan ejaan lama). Namun, hanya aksaranya yang kami ubah (misal: ‘j’
menjadi ‘y’). Lain-lainnya, seperti penggunaan kata depan yang harus dipisah
dalam EYD, tetap kami biarkan tersambung sesuai tulisan aslinya. Beberapa
istilah asing juga kami biarkan tak berubah (misal: devisen/devisa;
i.c/in casu/dalam hal ini; dsb.)
Selamat membaca.
Demokrasi
Kita
Sejarah
Indonesia sejak 10 tahun yang akhir ini banyak memperlihatkan pertentangan
antara idealisme dan realita. Idealisme, yang menciptakan suatu pemerintahan
yang adil yang akan melaksanakan demokrasi yang sebaik-baiknya dan kemakmuran
Rakyat yang sebesar-besarnya.
Realita
dari pada pemerintahan, yang dalam perkembangannya kelihatan makin jauh dari
demokrasi yang sebenarnya.
Tindakan-Tindakan
Presiden
Apalagi sejak dua tiga tahun yang akhir ini
kelihatan benar tindakan-tindakan pemerintah yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar. Presiden, yang menurut Undang-Undang Dasar tahun 1950
adalah Presiden konstitusionil yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat
diganggu-gugat, mengangkat dirinya sendiri menjadi formatir kabinet. Dengan itu
ia melakukan suatu tindakan yang bertanggung jawab dengan tiada memikul
tanggung jawab. Pemerintah yang dibentuk dengan cara yang ganjil itu diterima
begitu saja oleh Parlemen dengan tiada menyatakan keberatan yang prinsipiil.
Malahan ada yang membela tindakan Presiden itu dengan dalil “keadaan darurat”.
Kemudian Presiden Soekarno membubarkan
Konstituante yang dipilih oleh Rakyat, sebelum pekerjaannya membuat
Undang-Undang Dasar baru selesai. Dengan suatu dekrit
dinyatakannya berlakunya kembali Undang-Undang Dasar tahun 1945.
Menurut Undang-Undang
Dasar ’45 itu Presiden Republik Indonesia adalah kepala eksekutif. Parlemen
yang ada menurut Undang-Undang Dasar 1950 dan tersusun menurut pemilihan umum
pada tahun 1955 diakui sebagai Dewan Perwakilan Rakyat sementara sampai terbentuk
Dewan Perwakilan Rakyat baru berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Sungguhpun
tindakan Presiden itu bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan suatu coup
d’etat, ia dibenarkan oleh partai-partai dan suara yang terbanyak didalam Dewan
Perwakilan Rakyat. Golongan minorita menganggap perbuatan Presiden itu sebagai
suatu tindak-perkosa, tetapi menyesuaikan dirinya kepada kenyataan yang baru
itu. Dengan pendirian sedemikian Dewan Perwakilan Rakyat sudah melepaskan
sendiri hak-kelahirannya.
Tidak lama sesudah itu
Presiden Soekarno melangkah selangkah lagi, setelah timbul perselisihan dengan
Dewan Perwakilan Rakyat tentang jumlah anggaran belanja. Dengan suatu penetapan
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan dan disusunnya suatu Dewan
Perwakilan Rakyat baru menurut konsepsinya sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat
baru itu anggotanya 261 orang, separoh terdiri dari anggota-anggota partai dan
separoh lagi dari apa yang disebut golongan fungsionil, yaitu buruh, tani,
pemuda, wanita, alim-ulama, cendikiawan, tentera, dan polisi. Semua anggota
ditunjuk oleh Presiden. Anggota-anggota partai politik yang 130 orang itu
sebagian besar dipilihnya sendiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat
yang bersidang sampai sekarang, dengan menyingkirkan sama sekali anggota-anggota
yang termasuk golongan oposisi.
Tugas
Dewan Perwakilan Rakyat
Presiden Soekarno
mendasarkan segala tindakannya itu atas pendapat, bahwa revolusi Indonesia
untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur belum selesai. Sebelum tercapai
Indonesia yang adil dan makmur, revolusi masih berjalan terus dan susunan yang
ada itu bersifat sementara. Ia, katanya, tidak menentang demokrasi, malahan
menuju demokrasi yang sebenarnya, yaitu demokrasi gotong-royong seperti yang
terdapat dalam masyarakat Indonesia yang asli. Ia mencela demokrasi cara Barat
yang berdasarkan free fight, hantam-menghantam, yang sebegitu jauh dipraktikkan
di Indonesia. Free fight democracy ini menimbulkan perpecahan nasional,
sehingga usaha-usaha pembangunan jadi terlantar.
Demokrasi liberal itu
hendak digantinya dengan apa yang disebutnya demokrasi terpimpin. Demokrasi
terpimpin, seperti yang dimaksudnya itu, ialah suatu cara bekerja yang
melaksanakan suatu program pembangunan yang direncanakan dengan suatu tindakan
yang kuat dibawah suatu pimpinan. Cita-cita itu harus didukung oleh kerjasama
yang baik antara empat golongan besar yang berpengaruh didalam masyarakat,
yaitu golongan-golongan nasional, Islam, komunisme, dan tentera. Titik berat
dari pada pemerintahan dan perundang-undangan tidak lagi terletak pada
Parlemen, melainkan pada dua badan baru yaitu Dewan Nasional, yang sekarang
berubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung, dan Dewan Perancang Nasional.
Dalam sistim ini, Dewan
Perwakilan Rakyat tugasnya hanya memberikan dasar hukum saja kepada
keputusan-keputusan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan atau usul dari dua badan tersebut tadi. Dengan cara
begitu, menurut pendapat Soekarno, segala perundingan dapat berlaku dengan
cepat, dengan tiada bertele-tele seperti yang terjadi didalam Dewan Perwakilan
Rakyat sampai sekarang. Kedua badan tersebut, Dewan Pertimbangan Agung dan
Dewan Perancang Nasional, berhubung dengan susunannya seperti yang ditentukan
sendiri oleh Presiden Soekarno, bisa merupakan suatu “pressure group”, golongan
pendesak.
Tetapi dengan perubahan
Dewan Perwakilan Rakyat yang terjadi sekarang, dimana semua anggota ditunjuk
oleh Presiden, lenyaplah sisa-sisa demokrasi yang penghabisan. Demokrasi
terpimpin Soekarno menjadi suatu DIKTATUR yang didukung oleh golongan-golongan
yang tertentu.
Krisis
Demokrasi
Oleh karena itu tidak
heran, kalau banyak orang menyangka, bahwa demokrasi lenyap dari Indonesia.
Tetapi pendapat semacam itu tidak benar. Itu suatu pendapat yang diperoleh dari
penglihatan sepintas lalu saja atas proses politik yang berlaku di Indonesia
sejak beberapa tahun yang akhir ini. Demokrasi bisa tertindas sementara karena
kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan
muncul kembali dengan penuh keinsyafan. Berlainan dari pada beberapa negeri
lainnya di Asia, demokrasi disini berurat-berakar didalam pergaulan hidup.
Sebab itu ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya.
Apa yang terjadi sekarang
ialah KRISIS dari pada demokrasi. Atau demokrasi didalam krisis. Demokrasi yang
tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya, dan melulu
menjadi anarki, lambat-laun akan digantikan oleh diktatur. Ini adalah hukum
besi dari pada sejarah dunia! Tindakan Soekarno yang begitu jauh menyimpang
dari dasar-dasar konstitusi adalah akibat dari pada krisis demokrasi itu.
Demokrasi dapat berjalan
baik, apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi pada pemimpin-pemimpin
politik. Inilah yang kurang pada pemimpin-pemimpin partai seperti yang telah
berkali-kali saya peringatkan. Pada permulaan kemerdekaan, sesudah proklamasi
17 Agustus 1945, orang merasai benar-benar tanggung jawabnya. Tetapi setelah
kemerdekaan itu diakui oleh seluruh dunia, sebagai hasil dari pada Konperensi
Meja Bundar di Den Haag pada akhir tahun 1949, orang lupakan syarat-syarat
untuk membangun demokrasi didalam praktik.
Semangat yang
ultra-demokratis, yang merajalela dalam dada pemimpin-pemimpin partai, mengubah
sistim pemerintahan dari pemerintah presidensiil yang tertanam didalam
Undang-Undang Dasar 1945 menjadi kabinet parlementer. Sistim kabinet
parlementer seperti yang berlaku di Eropah Barat, dimana Pemerintah bertanggung
jawab kepada Parlemen, orang anggap lebih demokratis dari sistim pemerintah
presidensiil. Orang lupa, bahwa Indonesia dalam masa peralihan ke pemerintahan
nasional yang demokratis perlu akan suatu pemerintah yang kuat. Sejarah Indonesia
sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 menyatakan bahwa pemerintah yang kuat di
Indonesia ialah pemerintah presidensiil dibawah dwitunggal Soekarno-Hatta.
Lahirnya idee dwitunggal diwaktu itu bukanlah suatu hal yang dibuat-buat,
melainkan suatu kenyataan yang dikehendaki oleh keadaan.
Dimasa Republik Indonesia
yang pertama itu telah dicoba mengubah sistim pemerintah presidensiil menjadi
sistim kabinet parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana menteri, yang
bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Alasan yang
dikemukakan ialah supaya Presiden dan Wakil Presiden tetap dan tidak terganggu
gugat didalam memimpin negara. Presiden dan Wakil Presiden diperlindungi oleh
Kabinet yang bertanggung jawab politik yang setiap waktu dapat diganti kalau
perlu. Tetapi dalam praktik ternyata bahwa bukan kabinet yang memperlindungi
Presiden dan Wakil Presiden, memagari mereka dengan tanggung jawabnya,
melainkan sebaliknya. Dimana-mana Presiden dan Wakil Presiden harus bertindak
dengan mempergunakan kewibawaannya untuk memperlindungi kabinet dari kecaman
dan serangan rakyat yang tidak puas. Sampai kedalam sidang Komite Nasional
Pusat Wakil Presiden terpaksa bersuara untuk mempertahankan politik Pemerintah
yang digugat dan dikecam sebehat-hebatnya oleh berbagai golongan didalamnya.
Dan pada saat yang genting seperti dengan peristiwa 3 Juli 1946 orang
berpegang kembali kepada Kabinet Presidensiil. Demikian juga sesudah penanda
tanganan Perjanjian Renville pada
permulaan tahun 1948, yang menimbulkan perpecahan besar dan pertentangan
politik yang hebat dalam masyarakat, orang kembali kepada pemerintah
presidensiil dibawah Wakil Presiden. Pemerintah itulah yang stabil sampai
pada pemulihan kedaulatan pada
akhir tahun 1949 oleh Nederland.
Tetapi sesudah itu
semangat ultra-demokratis muncul kembali. Dalam Undang-Undang Dasar 1950
ditetapkan sistim kabinet parlementer. Dwitunggal Soekarno-Hatta dijadikan
simbol negara belaka dalam kedudukan Presiden dan Wakil Presiden yang
konstitusionil, yang tidak dapat diganggu-gugat. Menteri-menteri bertanggung
jawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya
maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri. Dan mulai saat itu
tamatlah pada hakekatnya sejarah dwitunggal dalam politik Indonesia.
Pelaksanaan
Demokrasi
Negara baru yang dibentuk
dari menggabungkan 16 negara bagian Republik Indonesia Serikat menurut putusan
KMB menjadi suatu negara kesatuan yang daerahnya meliputi seluruh Indonesia
dengan Irian Barat sebagai daerah sengketa — negara baru ini akan menghadapi
seribu satu soal dan kesulitan. Justeru pada saat itu dua orang yang
benar-benar mempunyai kewibawaan dibebaskan dari pimpinan negara yang riil dan
dijadikan simbol belaka.
Sebenarnya ada suatu
pertentangan perasaan dari dalam yang sukar mengatasi. Sistim dwitunggal itu
sudah menjadi suatu mitos yang mempengaruhi jalan pikiran bangsa kita. Dalam
alam pikiran rakyat yang banyak, segala kesulitan akan dapat diatasi selama
dwitunggal itu berada diatas pucuk pimpinan negara. Sebaliknya orang ingin
mempunyai suatu sistim pemerintahan yang lebih demokratis, yaitu dimana
Pemerintah bertanggung jawab kepada Parlemen setiap waktu. Menurut jalan
pikiran ini, diantara badan-badan yang kerjasama dalam melakukan pemerintahan,
Parlemen dan Pemerintah, Parlemenlah yang terkuat. Sistim itu tidak jalan
terhadap dwitunggal dengan kewibawaannya yang besar terhadap rakyat. Dalam pada
itu ada pula aliran yang berpendapat bahwa figur orang yang dua itu akan
menjadi penghalang bagi tenaga-tenaga politik baru untuk maju kemuka. Ini
merugikan bagi latihan demokrasi. Sebab itu perlu mereka meluangkan tempat
dalam kekuasaan politik bagi pemimpin-pemimpin yang lain itu.
Segala pertimbangan itu
melupakan kepentingan yang lebih besar dan mendesak diwaktu itu, yaitu bahwa
negara perlu akan suatu pemerintah yang kuat yang mempunyai kewibawaan besar
untuk mengatasi berbagai kesulitan.
Salah satu dari kesulitan
yang terutama ialah bahwa cita-cita demokrasi memang ada di Indonesia, tetapi
pelaksanaannyalah yang kurang. Selain dari itu pengalaman dalam pemerintahan
demokrasi sedikit sekali: diluar daerah Republik Indonesia yang pertama yang
hanya meliputi Jawa dan Sumatera hampir tak ada. Anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat yang pertama kali mewakili seluruh Indonesia menurut
Undang-Undang Dasar 1950 bukanlah anggota yang dipilih oleh rakyat, melainkan
diangkat oleh Pemerintah negara-negara bagian lama. Lebih dari separoh berasal
dari pegawai negeri yang dalam zaman Hindia Belanda tidak mempunyai pengalaman
politik.
Sebab itu tidak
mengherankan kalau didalam Dewan Perwakilan Rakyat itu jumlah partai politik
mangkin lama mangkin banyak. Akhirnya terdapat 19 buah. Orang dapat mengira
betapa sulitnya membentuk suatu Pemerintah yang akan memperoleh dukungan oleh
suara yang terbanyak didalam Dewan Perwakilan Rakyat. Tiap-tiap pemerintah
mempunyai corak pemerintah koalisi, tersusun dari sedikit-dikitnya 7 atau 8
partai. Alangkah sulitnya menyusun program bersama dan menyetujui orang-orang
yang akan duduk sebagai menteri. Dan kalau Pemerintah sudah berjalan dan
kemudian ada partai dalam koalisi itu yang tidak mendapat kepuasan, lalu ia
menarik menterinya keluar. Maka timbullah krisis kabinet. Kabinet jatuh karena
kelemahan dari dalam, bukan karena votum dalam Dewan Perwakilan Rakyat.
Berkali-kali Pemerintah mengundurkan diri, tetapi belum ada yang jatuh dimuka
Parlemen karena salah suatu votum tidak-percaja. Dengan sendirinya
pemerintah-pemerintah semacam itu, yang setiap waktu menghadapi soal politik
didalam dan diluar Dewan Perwakilan Rakjat, tidak cukup mempunyai kesempatan
untuk memikirkan soal ekonomi dan pembangunan. Rencana yang diperbuat sudah
terlantar lagi kalau Pemerintah sudah jatuh. Pemerintah yang menggantikan
memikirkan lagi rencana baru.
Sesudah pemilihan umum
tahun 1955, jumlah partai itu tidak berkurang, malahan bertambah sampai 28. Ini
disebabkan oleh sistim pemilihan yang terlalu demokratis. Sebenarnya tiga
partai yang terbesar didalam Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu PNI, Masyumi, dan
Nahdatul Ulama memperoleh suara terbanyak yang mutlak. Tetapi diantara
Masyumi dan dua lainnya itu sukar mencapai persesuaian paham.
Kalau dinegeri-negeri yang sudah lama
menjalankan demokrasi masih terdapat perbuatan menyalah-gunakan kekuasaan,
apalagi dalam negeri yang masih muda seperti Indonesia. Bagi beberapa golongan,
menjadi partai pemerintah berarti “membagi rezeki”. Golongan sendiri
dikemukakan, masyarakat dilupakan. Seorang menteri memperoleh tugas dari
partainya untuk melakukan tindakan-tindakan yang memberi keuntungan bagi
partainya. Seorang menteri perekonomian misalnya menjalankan tugasnya itu
dengan memberikan lisensi dengan bayaran yang tertentu untuk kas partainya.
Atau dalam pembagian lisensi itu kepada pedagang dan importir atau exportir,
orang yang separtai dengan dia didahulukannya. Keperluan uang untuk biaya
pemilihan umum menjadi sebab kecurangan itu.
Partai yang pada hakekatnya alat untuk
menyusun pendapat umum secara teratur, agar supaya rakyat belajar merasa
tanggung jawabnya sebagai pemangku negara dan anggota masyarakat, — partai itu
dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya.
Juga dalam hal menempatkan pegawai pada
jabatan umum didalam dan diluar negeri, orang lupa akan dasar tanggung jawab
dan toleransi dalam demokrasi. Seringkali keanggotaan partai menjadi ukuran,
bukan dasar “the right man in the right place”. Pegawai yang tidak berpartai
atau partainya duduk dibangku oposisi merasa kehilangan pegangan dan menjadi
patah hati. Ini merusak ketenteraman jiwa bekerja, mendorong orang kejalan
curang dan korupsi mental. Aturan memperkuat budi pekerti, karakter pegawai,
dengan politik kepartaian itu orang menghidupkan yang sebaliknya, mengasuh
orang luntur karakter. Akhirnya orang masuk partai bukan karena keyakinan,
melainkan karena ingin memperoleh jaminan.
Suasana politik semacam
itu memberi kesempatan kepada berbagai jenis petualang politik dan ekonomi
serta manusia profetir maju kemuka. Segala pergerakan dan semboyan nasional
diperalatkan mereka, partai-partai politik ditungganginya, untuk mencapai
kepentingan mereka sendiri. Maka timbullah anarki dalam politik dan ekonomi.
Kelanjutannya, korupsi dan demoralisasi merajalela.
Sumber
Tulisan: https://ngaji.net/demokrasi-kita-bung-hatta/
Sumber Gambar: http://2.bp.blogspot.com
dan https://ecs7.tokopedia.net
0 komentar:
Posting Komentar