Banner 468 x 60px

 

Kamis, 01 Juni 2017

Quiz PKn XI

0 komentar
Read more...

Rabu, 24 Mei 2017

Quiz PPKn X (II)

0 komentar
Read more...

Senin, 22 Mei 2017

Quiz PPKn X (I)

0 komentar
Read more...

Minggu, 14 Mei 2017

Otonomi Daerah

0 komentar

Otonomi Daerah
Banyak definisi yang dapat menggambarkan tentang makna otonomi daerah. Berikut adalah beberapa definisi tentang otonomi daerah yang dikemukakan para ahli. Menurut H.M. Agus Santoso, pengertian otonomidaerah di antaranya adalah sebagai berikut.
C. J. Franseen, otonomi daerah adalah hak untuk mengatur urusanurusan daerah dan menyesuaikan peraturan-peraturan yang sudah dibuat dengannya.
J. Wajong, otonomi daerah sebagai kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri.
Ateng Syarifuddin, otonomi daerah sebagai kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Namun kebebasan itu terbatas karena merupakan perwujudan dari pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Otonomi daerah adalah kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat. Tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun yang dimaksud dengan kewajiban adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan otonomi daerah adalah keleluasaan dalam bentuk hak dan wewenang serta kewajiban dan tanggung jawab badan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai keadaan dan kemampuan daerahnya sebagai manifestasi dari desentralisasi.


Otonomi Daerah dalam Konteks Negara Kesatuan
Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia diselenggarakan dalam rangka memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan memperhatikan potensi dan kekhasan daerah masing-masing. Hal ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata, dan bertanggung jawab terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun daerahnya.

Nilai, Dimensi, dan Prinsip Otonomi Daerah di Indonesia
Otonomi Daerah pada dasarnya adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia..
a. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara (Eenheidstaat), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa, dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan.
b. Nilai Dasar Desentralisasi Teritorial, yang bersumber dari isi dan jiwa Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan nilai ini pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.

Berkaitan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Dengan demikian, titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada daerah kabupaten/kota dengan beberapa dasar pertimbangan sebagai berikut:
Dimensi Politik, kabupaten/kota dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim.
Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif.
Kabupaten/kota adalah daerah “ujung tombak” pelaksanaan pembangunan sehingga kabupaten/kota-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, prinsip otonomi daerah yang dianut adalah nyata, bertanggung jawab dan dinamis.
1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah.
2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air.
3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju.

Selain itu terdapat lima prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
1. Prinsip Kesatuan
Pelaksanaan otonomi daerah harus menunjang aspirasi perjuangan rakya gunat memperkokoh negara kesatuan dan mempertinggi tingkat kesejahteraan masyarakat lokal.
2. Prinsip Riil dan Tanggung Jawab
Pemberian otonomi kepada daerah harus merupakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab bagi kepentingan seluruh warga daerah. Pemerintah daerah berperan mengatur proses dinamika pemerintahan dan pembangunan di daerah.
3. Prinsip Penyebaran
Asas desentralisasi perlu dilaksanakan dengan asas dekonsentrasi. Caranya dengan memberikan kemungkinan kepada masyarakat untuk kreatif dalam membangun daerahnya.
4. Prinsip Keserasian
Pemberian otonomi kepada daerah mengutamakan aspek keserasian dan tujuan di samping aspek pendemokrasian.
5. Prinsip Pemberdayaan
Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah, terutama dalam aspek pembangunann dan pelayanan kepada masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.



Daftar Pustaka:
Setyani, Rini dan Dyah Hartati. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Pembukuan Kementerian Pendidikan Nasional.

Sumber Gambar:
http://1.bp.blogspot.com
https://2.bp.blogspot.com
Read more...

Perjanjian Internasional

0 komentar

Beberapa hal yang perlu disepakati dalam proses pembuatan perjanjian internasional antara lain sebagai berikut:
1. Persyaratan Perjanjian Internasional
   Negara yang mengajukan persyaratan tidak berarti mengundurkan diri dari perjanjian. Negara tersebut masih tetap sebagai peserta dalam perjanjian, tetapi dengan syarat hanya terikat pada bagian-bagian tertentu yang dianggap membawa keuntungan bagi kepentingan nasionalnya.
Unsur-unsur penting dalam persyaratan adalah:
a. Harus dinyatakan secara formal/resmi,
b. Bermaksud untuk membatasi, meniadakan, atau mengubah akibat hukum.

Suatu perjanjian mejadi sah jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Ada kata sepakat dari kedua belah pihak,
b. Kedua belah pihak cakap bertindak melakukan perbuatan hukum,
c. Ada objek tertentu yang dapat menjadi objek perjanjian,
d. Tidak melanggar hukum yang berlaku/hukum positif.

2. Berlakunya perjanjian internasional
a. Berlaku sejak tanggal yang ditentukan atau menurut yang disetujui oleh negara perunding,
b. Jika tidak ada ketentuan atau persetujuan, perjanjian mulai berlaku segera setelah persetujuan diikat dan dinyatakan oleh semua negara perunding,
c. Bila persetujuan suatu negara untuk diikat oleh perjanjian timbul setelah perjanjian itu berlaku, maka perjanjian mulai berlaku bagi negara itu pada tanggal tersebut, kecuali bila perjanjian menentukan lain,
d. Ketentuan-ketentuan perjanjian yang mengatur pengesahan teksnya, pernyataan persetujuan suatu negara untuk diikat oleh suatu perjanjian, cara dan tanggal berlakunya, persyaratan, fungsi-fungsi penyimpanan, dan masalah-masalah lain yang timbul yang perlu sebelum berlakunya perjanjian itu, berlaku sejak saat disetujuinya teks perjanjian itu.

3. Berakhirnya perjanjian internasional
       Pada akhirnya suatu perjanjian internasional harus diakhiri, atau terpaksa diakhiri eksistensinya. Seperti halnya penundaan dan ketidakabsahan suatu perjanjian internasional, pengakhiran atas eksistensi suatu perjanjian internasional juga ada penyebabnya, yang dalam beberapa hal sama seperti persoalan penundaan maupun ketidakabsahannya.
Menurut Konvensi Wina 1969,  Perjanjian Internasional dapat BATAL karena hal – hal sebagai berikut:
a. Terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan – ketentuan hukum internasional oleh salah satu peserta Perjanjian Internsional   →  Pasal 46 dan 47.
b. Jika terdapat unsur kesalahan berkenaan dengan suatu fakta atau keadaan pada saat perjanjian itu dibuat  →  Pasal 58
c. Jika terdapat unsur  penipuan oleh salah satu peserta Perjanjian Internasional terhadap peserta lain  →  Pasal 49
d. Jika terdapat penyalahgunaan atau kecurangan (corruption) melalui kelicikan atau penyuapan terhadap mereka yang menjadi kuasa penuh dari Negara peserta Perjanjian Internasional    Pasal 50
e. Jika terdapat unsur paksaan kepada seorang peserta penuh baik dengan ancaman maupun kekuatan     Pasal 51 dan 52
f. Jika pada waktu pembuatan perjanjian tersebut ada ketentuan yang bertentangan dengan suatu kaidah dasar hukum Internasional umum (asas ius cogent)  →  Pasal 53

Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., dalam bukuPengantar Hukum Internasional mengatakan bahwa suatu perjanjian BERAKHIR karena hal-hal berikut inI:
a. Telah tercapai tujuan dari perjanjian internasional itu.
b. Masa beraku perjanjian internasional itu sudah habis.
c. Salah satu pihak peserta perjanjian menghilang.
d. Adanya persetujuan dari peserta-peserta untuk mengakhiri perjanjian.
e. Adanya perjanjian baru antara peserta yang kemudian meniadakan perjanjian yang terdahulu.
f. Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sudah dipenuhi.
g. Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu peserta dan pengakhiran itu diterima oleh pihak lain.

Pihak yang dapat mengusulkan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional, adalah pihak yang merasa dirugikan atau pihak yang memandang, bahwa perjanjian itu tidak perlu dipertahankan lagi dan harus diakhiri. Selanjutnya pengakhiran ini juga akan menimbulkan konsekuensi hukum seperti halnya dengan penundaan maupun ketidakabsahannya yang harus diselesaikan oleh para pihak itu sendiri.
Persoalan tentang bagaimana mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional dan penyelesaian segala konsekuensi hukumnya, pertama-tama tergantung pada ada atau tidaknya pengaturannya di dalam perjanjian itu sendiri. Di samping itu, juga turut ditentukan oleh macam perjanjiannya, apakah itu perjanjian bilateral, multilateral, perjanjian yang jangka waktu berlakunya ditentukan ataukah tidak ditentukan, perjanjian terbuka atau tertutup, perjanjian yang merupakan pengkodifikasian dan pengembangan progresif hukum internasional, dan lain sebagainya.



Ø Alasan untuk Mengakhiri Eksistensi Suatu Perjanjian lnternasional

Dalam praktek kehidupan masyarakat internasional, terdapat beberapa alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional. Misalnya, untuk perjanjian internasional yang jangka waktu berlakunya sudah ditentukan secara pasti di dalam salah satu pasalnya, misalnya berlaku untuk waktu lima tahun, sepuluh tahun, dan lain sebagainya, maka perjanjian itu akan berakhir setelah terpenuhinya jangka waktu tersebut. Meskipun demikian, setelah jangka waktu itu terpenuhi, para pihak dapat bersepakat untuk memperpanjang masa berlakunya untuk suatu jangka waktu tertentu.

Kadang-kadang suatu perjanjian internasional semacam inipun dapat diakhiri eksistensinya, jika para pihak sepakat untuk mengakhirinya, meskipun jangka waktu berlakunya belum terpenuhi. Sedangkan untuk perjanjian internasional yang jangka waktu berlakunya tidak ditentukan, dapat diakhiri sebelum tujuan perjanjian itu tercapai, jika memang para pihak sepakat untuk mengakhirinya.

Ø Berakhirnya suatu Perjanjian Internasional Tidak Mengakhiri Kewajiban yang Berdasarkan atas Hukum Internasional Umum
  
            Perjanjian-perjanjian internasional jenis tertentu, yakni, perjanjian yang substansinya (sebagian) merupakan formulasi dan kaidah hukum kebiasaan internasional, hak ataupun kewajiban yang semula berasal dari hukum kebiasaan internasional itu masih tetap berlaku. Tegasnya, salah satu atau beberapa ketentuannya merupakan perumusan kernbali atau pengkodifikasian atas kaidah hukum yang sebelum berlakunya perjanjian itu sudah merupakan kaidah hukum kebiasaan internasional. Jika pada suatu waktu perjanjian itu diakhiri eksistensinya, hal ini tidaklah mengakhiri hak ataupun kewajiban negara-negara pesertanya yang bersumber dari hukum kebiasaan internasional tersebut.

            Contoh lain, negara A dan negara B membuat perjanjian bilateral tentang kesepakatan untuk hidup berdampingan secara damai, yang salah satu pasalnya berisi ketentuan yang menyatakan bahwa kedua pihak tidak akan saling menyerang dan tidak akan menggunakan kekerasan dalam penyelesaian perselisihan antara mereka. Ketentuan semacam ini adalah merupakan kaidah hukum kebiasaan internasional yang berlaku umum, terlepas dari ada atau tidak adanya penegasan atau pengaturannya di dalam suatu perjanjian internasional. Apabila pada suatu waktu nanti, perjanjian itu diakhiri eksistensinya, ketentuan seperti tercantum di dalam perjanjian itu tetap berlaku terhadap kedua negara, sebab sudah merupakan kaidah hukum internasional umum yang mandiri.

    Jadi, dengan kata lain, dengan berakhirnya perjanjian itu tidaklah berarti para pihak bisa saling menyerang ataupun menggunakan kekerasan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi diantara keduanya.  

Ø  Pengakhiran atas Eksistensi Perjanjian Internasional menurut Konvensi Wina 1969

   Konvensi Wina 1969 Pasal 42 ayat 2 menegaskan, bahwa tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional pertama-tama harus dilihat pada bagaimana peraturannya di dalam perjanjian internasional itu sendiri, kalau memang perjanjian itu secara tegas mengaturnya. Sedangkan jika tidak ada pengaturannya, pengakhiran itu dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan Konvensi.

Selanjutnya pasal 44 ayat 2 menegaskan, bahwa pada prinsipnya suatu kehendak untuk mengakhiri eksistensi atau berlakunya suatu perjanjian internasional hendaknya untuk keseluruhannya. Namun, dimungkinkan juga untuk mengakhiri sebagian dari perjanjian itu, apabila ada klausul yang memungkinkan melakukan pengakhirannya untuk sebagian atau untuk beberapa ketentuannya, seperti ditegaskan pada ayat 3.

Akan tetapi jika klausul demikian itu tidak ada, pengakhiran untuk sebagian juga dapat dilakukan jika hal itu tampak atau tersimpulkan dari perjanjian itu sendiri, dan pada umumnya pengakhiran atas sebagian dan perjanjian tersebut berkenaan dengan ketentuan yang bukan merupakan syarat yang esensial bagi terikatnya suatu negara pada perjanjian itu secara keseluruhan.

a. Dibuat Perjanjian Internasional Baru
Pasal 59 ayat 1 mengatur tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional (lama/duluan) disebabkan karena dibuat perjanjian yang (baru/belakangan). Dalam hal ini, semua negara peserta pada perjanjian yang lama/duluan kemudian membuat perjanjian baru / belakangan, dan memang para pihak bermaksud untuk menerapkan perjanjian yang baru /belakangan untuk menggantikan perjanjian yang lama/duluan; dan juga karena substansi dari kedua perjanjian itu sangat berbeda bahkan bertentangan sehingga keduanya tidak mungkin untuk diterapkan secara bersamaan. Meskipun perjanjian yang baru/belakangan tidak secara tegas mengakhiri eksistensi atau berlakunya perjanjian yang lama/duluan dan hal seperti ini memang tidak lazim dalam hukum perjanjian internasional,tetapi karena keduanya tidak mungkin untuk diterapkan pada waktu dan tempat yang sama, maka salah satu harus dikesampingkan atau diakhiri.

Dalam hal ini perjanjian yang lama/duluanlah yang harus diakhiri, dan yang baru/belakanganlah yang harus diterapkan, jadi sesuai dengan asas hukum, lex posteriori derogat legi priori. Akan tetapi masalahnya menjadi lain, apabila negara-negara peserta pada perjanjian yang lama/duluan tidak semuanya negara yang juga menjadi peserta pada perjanjian yang baru/belakangan.

b. Pelanggaran oleh salah satu pihak
Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 60 ayat 1, pelanggaran atas substansi perjanjian oleh salah satu pihak dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri berlakunya perjanjian, baik untuk keseluruhannya ataupun untuk sebagian. Atau seperti ditegaskan dalam ayat 2, pelanggaran atas suatu perjanjian internasional oleh salah satu pihak dapat dijadikan sebagai alasan bagi pihak lainnya untuk bersepakat secara bulat untuk mengakhiri berlakunya perjanjian itu, (i) baik dalam hubungan antara mereka pada satu pihak dengan pihak yang melakukan pelanggaran pada lain pihak, atau (ii) antara semua pihak.

Perlu ditegaskan, bahwa pengakhiran suatu perjanjian internasional berdasarkan alasan semacam ini bersifat fakultatif, artinya, para pihak dapat menempuh pilihan, apakah sepakat untuk mengakhiri perjanjian ataukah tetap melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut meskipun terjadi pelanggaran sebagaimana dinyatakan di dalam pasal 60 ini. Meskipun terjadi pelanggaran yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhirinya, tetapi jika para pihak sepakat untuk tetap meneruskan pelaksanaannya, maka perjanjian itu masih tetap eksis dan berlaku sebagaimana biasa.

Sebaliknya jika mereka memilih untuk mengakhirinya, pengakhiran ini bisa dilakukan hanya antara pihak yang melakukan pelanggaran dalam hubungannya dengan pihak yang menjadi korban atau pihak yang dirugikan, atau bisa juga dilakukan antara semua pihak, jika semua pihak sepakat untuk itu.

c. Ketidakmungkinan 
Untuk Melaksanakannya
Menurut pasal 61 ayat 3, salah satu pihak dapat menyatakan untuk mengakhiri berlakunya perjanjian dengan alasan bahwa perjanjian itu sudah tidak mungkin lagi untuk dilaksanakan dan ketidakmungkinan itu sudah bersifat permanen atau ketidakmungkinan yang disebabkan karena kerusakan dan obyeknya yang ternyata tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan perjanjian tersebut.

Jadi ada dua macam ketidakmungkinan untuk melaksanakan suatu perjanjian, yakni pertama, ketidakmungkinan untuk melaksanakan perjanjian internasional itu sudah bersifat permanen, dan yang kedua, adalah karena kerusakan dan obyek perjanjian itu tidak dapat dipisahkan dan pelaksanaannya, atau dengan kata lain, kerusakan atas obyeknya itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk tetap melaksanakan perjanjian tersebut.

c. Terjadinya perubahan keadaan yang fundamental (fundamental change of circumstances)
Konvensi mengatur tentang terjadinya perubahan keadaan yang fundamental secara negatif, dalam pengertian, hal ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri berlakunya suatu perjanjian internasional. Selain daripada itu, jika ada pihak yang menjadikannya sebagai alasan, disertai pula dengan pembatasan yang amat ketat dalam penggunaannya, sehingga sangat sempit atau sedikit sekali kesempatan yang dapat digunakan sebagai alasan untuk mengakhiri eksistensi atau berlakunya suatu perjanjian internasional.

Diaturnya secara negatif dan disertai dengan pembatasan yang amat ketat, disebabkan karena kekhawatiran akan disalahgunakannya alasan ini, misalnya negara-negara dengan mudah berlindung dibaliknya untuk mengakhiri eksistensi atau berlakunya suatu perjanjian internasional. Di samping itu, martabat (dignity) setiap perjanjian internasional supaya tetap dijunjung tinggi mengingat bahwa adanya perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur masyarakat internasional masih jauh lebih baik daripada tidak ada atau hanya ada sedikit perjanjian internasional, sehingga masyarakat internasional menjadi hidup di dalam suasana yang tanpa hukum yang tegas. Dalam hal ini sudah lama diakui, bahwa peranan perjanjian internasional dalam mengatur masalah-masalah internasional semakin lama semakin bertambah penting.

e. Putusnya Hubungan Diplomatik dan/atau Konsuler
Hubungan diplomatik dan/atau konsuler yang baik antara negara-negara merupakan salah satu fondasi bagi pertumbuhan dan perkembangan perjanjian-perjanjian internasional, sebab dengan hubungan semacam itulah negara-negara akan lebih mudah dan cepat melakukan pendekatan untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional dalam rangka mengatur masalah-masalah internasional pada umumnya dan masalah-masalah antara mereka pada khususnya.

Akan tetapi dalam hubungan-hubungan internasional, negara-negara yang hubungan diplomatik dan konsulernya semula berlangsung dengan baik, ternyata hubungan baik itu tidak selamanya bisa dipertahankan. Hubungan diplomatik dan/atau konsuler juga kadang-kadang bisa putus. Pelbagai penyebab dapat dikemukakan mengapa hubungan diplomatik dan/atau konsuler antara dua negara bisa putus, misalnya, terjadinya ketegangan yang memuncak sampai mengarah pada konflik bersenjata, atau sudah terjadi peperangan dahsyat antara kedua negara.

f. Bertentangan dengan 
Jus Cogens
Walaupun suatu perjanjian internasional merupakan hasil kesepakatan antara negara-negara yang menjadi pesertanya, sesuai dengan asas-asas dari hukum perjanjian itu sendiri, namun tidaklah berarti mereka bebas menentukan isi maupun obyek dan kesepakatannya. Ada beberapa pembatasan yang harus diperhatikan. Salah satunya adalah, substansi perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum umum atau universal yang bersifat kuat dan imperatif yang dalam pasal 53 Konvensi disebut dengan a peremptory norm of general international law atau di dalam hukum internasional dikenal sebagai jus cogens.

Apa yang dimaksud dengan jus cogens, ditegaskan dalam pasal 53, yakni, suatu kaidah hukum yang diterima dan diakui oleh seluruh anggota masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara sebagai suatu kaidah hukum yang tidak dibenarkan untuk dilakukan penyimpangan dan yang hanya dapat diubah oleh kaidah hukum internasional umumnya yang muncul belakangan yang memiliki sifat atau karakter yang sama. Sebagai contohnya, kewajiban setiap negara untuk menghormati kedaulatan teritorial sesama negara, kewajiban setiap negara untuk menghormati hak-hak asasi manusia, kewajiban negara untuk tidak melakukan tindakan agresi terhadap negara lain, dan lain-lainnya. Jika misalnya dua negara membuat suatu perjanjian bilateral yang subnal yang tergolong jus cogens seperti telah dikemukakan di atas, yakni kewajiban untuk menghormati kedaulatan sesama negara. Menurut pasal 53, perjanjian semacam ini adalah batal (void) dan demikian juga menurut pasal 64 adalah batal dan perjanjian yang batal sama artinya dengan berakhir eksistensinya.

g. Pecahnya perang antara para pihak
Pecahnya perang antara dua atau lebih negara akan mengakhiri eksistensi dari perjanjian yang dibuat sebelumnya?. Konvensi Wina 1969 sama sekali tidak mengaturnya, baik langsung ataupun tidak langsung, sehingga tidak bisa dicarikan rujukannya secara langsung pada Konvensi. Dalam hal ini masalahnya hampir sama dengan putusnya hubungan diplomatik antara dua negara. Pada prinsipnya, perang yang terjadi tidak mengakhiri eksistensi perjanjian yang sudah ada dan berlaku sebelumnya antara para pihak yang berperang. Akan lebih tepat dikatakan, bahwa perang itu hanyalah menunda pelaksanaan perjanjian antara para pihak yang bersangkutan. Jika kemudian perang sudah berakhir dan hubungan diplomatik normal kembali, maka perjanjian yang selama berlangsungnya perang tertunda pelaksanaannya, dapat dilaksanakan kembali sebagaimana biasa.

Ø Konsekuensi Hukum dan Berakhirnya Eksistensi suatu Perjanjian Internasional

    Tentang konsekuensi hukum dan pengakhiran suatu perjanjian internasional diatur di dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 Konvensi. Menurut ayat 1, ada tiga kemungkinannya, yakni, perjanjian itu mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya; jika pengaturan itu tidak ada, kemungkinan kedua adalah para pihak mencapai kesepakatan tersendiri, dan kemungkinan yang ketiga adalah jika keduanya tidak ada, maka para pihak dapat mengikuti ketentuan seperti ditentukan dalam pasal 70 ayat 1 ini. Jika suatu perjanjian internasional mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya tentang konsekuensi (hukum) dari berakhirnya eksistensi perjanjian, maka para pihak cukup menerapkan ketentuan itu saja.

Akan tetapi dalam prakteknya, memang sangat jarang ada, bahkan mungkin tidak ada perjanjian internasional yang mengatur sampai sejauh ini, bahkan lebih banyak dijumpai perjanjian-perjanjian internasional yang sama sekali tidak mengaturnya. Jika tidak ada pengaturan tentang konsekuensinya, maka timbul pertanyaan, bagaimanakah konsekuensi dan berakhirnya eksistensi suatu perjanjian internasional. Dalam hal ini kemungkinan para pihak akan mengatur secara tersendiri.

Pengaturan ini merupakan kesepakatan antara para pihak tersebut merupakan kesepakatan tersendiri (di luar perjanjian) sebagai konsekuensi dan pengakhiran atas eksistensi perjanjian tersebut. Pengaturan semacam ini hanyalah mungkin, apabila pengakhiran atas eksistensi perjanjian internasional dilakukan atas dasar kesepakatan (secara damai) antara para pihak. Jika ada kesepakatan semacam ini, maka para pihak tentu saja harus menerapkan kesepakatan ini saja, dan jika semua berlangsung dengan baik dan lancar, maka berakhirlah semua masalahnya.



Daftar Pustaka:
Suwarni. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Arya Duta

Sumber Gambar:
http://www.batasnegeri.com
Read more...

Desentralisasi

0 komentar

Desentralisasi
Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari Bahasa Belanda, yaitu de yang berarti lepas, dan centerum yang berarti pusat. Desentralisasi adalah sesuatu hal yang terlepas dari pusat. Terdapat dua kelompok besar yang memberikan definisi tentang desentralisasi, yakni kelompok Anglo Saxon dan Kontinental. Kelompok Anglo Saxon mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang dari pemerintah pusat, baik kepada para pejabat pusat yang ada di daerah yang disebut dengan dekonsentrasi maupun kepada badan-badan otonom daerah yang disebut devolusi. Devolusi berarti sebagian kekuasaan diserahkan kepada badan-badan politik di daerah yang diikuti dengan penyerahan kekuasaan sepenuhnya untuk mengambil keputusan baik secara politis maupun secara administratif.

Adapun Kelompok Kontinental membedakan desentralisasi menjadi dua bagian yaitu desentralisasi jabatan atau dekonsentrasi dan desentralisasi ketatanegaraan. Dekonsentrasi adalah penyerahan kekuasaan dari atas ke bawah dalam rangka kepegawaian guna kelancaran pekerjaan semata. Adapun desentralisasi ketatanegaraan merupakan pemberian kekuasaan untuk mengatur daerah di dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara. Menurut ahli ilmu tata negara, dekonsentrasi merupakan pelimpahan kewenangan dari alat perlengkapan negara di pusat kepada instansi bawahannya guna melaksanakan pekerjaan tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah pusat tidak kehilangan kewenangannya karena instansi bawahan melaksanakan tugas atas nama pemerintah pusat.

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah otonom sebagai wakil pemerintah atau perangkat pusat di daerah dalam kerangka negara kesatuan. Lembaga yang melimpahkan kewenangan dapat memberikan perintah kepada pejabat yang telah dilimpahi kewenangannya itu mengenai pengambilan atau pembuatan keputusan. Menurut Amran Muslimin (2009:120, desentralisasi dibedakan atas 3 (tiga) bagian.
Desentralisasi politik, yakni pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat yang meliputi hak mengatur dan mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu.
Desentralisasi fungsional, yaitu pemberian hak kepada golongan-golongan tertentu untuk mengurus segolongan kepentingan tertentu dalam masyarakat baik terikat maupun tidak pada suatu daerah tertentu, seperti mengurus irigasi bagi petani.
Desentralisasi kebudayaan, yakni pemberian hak kepada golongan-golongan minoritas dalam masyarakat untuk menyelenggarakan kebudayaan sendiri, seperti ritual kebudayaan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi pada dasarnya adalah suatu proses penyerahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari urusan yang semula adalah urusan pemerintah pusat kepada badanbadan atau lembaga-lembaga pemerintah daerah. Tujuannya adalah agar urusan-urusan dapat beralih kepada daerah dan menjadi wewenang serta tanggung jawab pemerintah daerah. Desentralisasi mengandung segi positif dalam penyelenggaraan pemerintahan baik dari sudut politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. Dilihat dari fungsi pemerintahan, desentralisasi menunjukkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan yang terjadi secara cepat.
2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas lebih efektif dan lebih efisien.
3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif.
4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi, serta komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.




Daftar Pustaka:
Setyani, Rini dan Dyah Hartati. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Pembukuan Kementerian Pendidikan Nasional.


Sumber Gambar:

http://edukasibitcoin.com
Read more...

Perjanjian Internasional

0 komentar

Pada hakekatnya perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional utama, sehingga dengan demikian hukum internasional sama sekali tidak dapat dipisahkan dari keberadaan perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara. Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan yang dinyatakan secara formal antara dua negara atau lebih mengenai penetapan serta ketentuan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Berikut beberapa pengertian tentang perjanjian internasional dari beberapa ahli.
a. Oppenheimer Lauterpachtat
 Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak yang mengadakannya.
b. Mochtar Kusumaatmadja
    Perjanjian internasional adalah perjanjian antarbangsa yang bertujuan untuk menciptakan akibat-akibat hukum tertentu.

Unsur-unsur perjanjian internasional berdasarkan pengertian dalam Konvensi Wina sebagai berikut:
a. Suatu persetujuan internasional,
b. Dibuat oleh negara-negara,
c. Dalam bentuk tertulis,
d. Didasarkan pada hukum internasional,
e. Dibuat dalam instrumen tunggal, dua atau lebih,
f. Memiliki nama apapun.

Perkembangan sejarah perjanjian internasional telah menunjukkan makin kompleksnya subjek maupun objek perjanjian internasional. Hal ini menimbulkan banyaknya istilah perjanjian internasional. Beberapa istilah dalam Perjanjian Internasional, sebagai berikut:

1. Traktat (treaty)
Traktat (treaty) yaitu suatu perjanjian antara dua negara atau lebih untuk mencapai hubungan hukum mengenai objek hukum (kepentingan) yang sama. Dalam hal ini, masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang mengikat dan mutlak, dan harus diratifikasi. Istilah traktat digunakan dalam perjanjian internasional yang bersifat politis. Misalnya, Treaty Contract tentang penyelesaian masalah dwi kewarganegaraan tahun 1955, antara pihak Indonesia-RRC. Dan pada tahun 1990 antara RI dengan Australia juga menandatangani suatu traktat tentang batas landas kontinen dan eksplorasi di celah Timor, yang dikenal dengan perjanjian “Celah Timor”.

2. Agreement
Agreement yaitu suatu perjanjian/persetujuan antara dua negara atau lebih, yang mempunyai akibat hukum seperti dalam treaty. Namun dalam agreement lebih bersifat eksekutif/teknis administrative (non politis), dan tidak mutlak harus diratifikasi, yaitu tidak perlu diundangkan dan disahkan oleh pemerintah/ kepala negara. Walaupun ada agreement yang dilakukan oleh kepala negara, namun pada prinsipnya cukup dilakukan dengan ditandatangani oleh wakil-wakil departemen dan tidak perlu ratifikasi. Misalnya, agreement tentang ekspor impor komoditas tertentu.

3. Konvensi
Konvensi yaitu suatu perjanjian/persetujuan yang lazim digunakan dalam perjanjian multilateral. Ketentuan-ketentuannya berlaku bagi masyarakat internasional secara keseluruhan (lawmaking treaty). Misalnya, Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 di Montego-Jamaica.

4. Protokol
Protokol yaitu suatu perjanjian/persetujuan yang kurang resmi dibandingkan dengan traktat dan konvensi, sebab protokol hanya mengatur masalah-masalah tambahan, seperti penafsiran klausul-klausul atau persyaratan perjanjian tertentu. Oleh karena itu, lazimnya tidak dibuat oleh kepala negara. Contohnya, protokol Den Haag tahun 1930 tentang perselisihan penafsiran undang-undang nasionalitas tentang wilayah perwalian, dan lain-lain.

5. Piagam (statuta)
Piagam (statuta) yaitu himpunan peraturan yang ditetapkan sebagai persetujuan internasional, baik mengenai lapangan-lapangan kerja internasional maupun mengenai anggaran dasar suatu lembaga. Misalnya Statuta of The International Court of Justice pada tahun 1945. Adakalanya piagam itu digunakan untuk alat tambahan/lampiran pada konvensi. Umpamanya Piagam Kebebasan Transit yang dilampirkan pada Convention of Barcelona tahun 1921.

6. Charter
Charter yaitu piagam yang digunakan untuk membentuk badan tertentu. Misalnya, The Charter of The United Nation tahun 1945 dan Atlantic Charter tahun 1941.

7. Deklarasi (declaration)
Deklarasi (declaration) yaitu suatu perjanjian yang bertujuan untuk memperjelas atau menyatakan adanya hukum yang berlaku atau untuk menciptakan hukum baru. Misalnya Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948.

8. Covenant
Covenant yaitu suatu istilah yang digunakan dalam pakta Liga Bangsa- Bangsa pada tahun 1920, yang bertujuan untuk menjamin terciptanya perdamaian dunia, meningkatkan kerja sama internasional, dan mencegah terjadinya peperangan.

9. Ketentuan penutup (final act)
Ketentuan penutup (final act) yaitu suatu dokumen yang mencatat ringkasan hasil konferensi. Di sini disebutkan tentang negara-negara peserta dan nama-nama utusan yang ikut berunding serta tentang hal-hal yang disetujui dalam konferensi itu, termasuk interpretasi ketentuan-ketentuan hasil konferensi.

10. Modus vivendi 
Modus vivendi adalah suatu dokumen yang mencatat persetujuan internasional yang bersifat sementara, sampai berhasil diwujudkan secara permanen. Modus vivendi tidak memerlukan ratifikasi. Modus vivendi ini biasanya digunakan untuk menandai adanya perjanjian yang baru dirintis.

Tahap-Tahap Perjanjian Internasional:
Dalam konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional disebutkan bahwa dalam pembuatan perjanjian baik bilateral maupun multilateral dapat dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1. Perundingan (negotiation)
Perundingan merupakan perjanjian tahap pertama antara pihak/negara tertentu yang berkepentingan, di mana sebelumnya belum pernah diadakan perjanjian. Oleh karena itu, diadakan penjajakan terlebih dahulu atau pembicaraan pendahuluan oleh masing-masing pihak yang berkepentingan. Dalam melaksanakan negosiasi, suatu negara dapat diwakili oleh pejabat yang dapat menunjukkan surat kuasa penuh (full powers). Selain mereka, juga dapat dilakukan oleh kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri, atau duta besar.

2. Penandatanganan (signature)
Penandatanganan naskah perjanjian dilakukan oleh para menteri luar negeri atau kepala pemerintahan. Untuk penandatanganan teks perundingan yang bersifat multilateral dianggap sah apabila 2/3 suara peserta yang hadir memberikan suara, kecuali jika ditentukan lain. Namun demikian, perjanjian belum dapat diberlakukan masing-masing negara sebelum diratifi kasi.

3. Pengesahan (ratifi cation)
Ratifi kasi merupakan suatu cara yang sudah melembaga dalam kegiatan perjanjian internasional. Suatu negara mengikatkan diri pada suatu perjanjian dengan syarat apabila telah disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Dengan dilakukannya ratifi kasi terhadap perjanjian internasional, secara resmi perjanjian internasional dapat berlalu dan berkekuatan hukum.

Asas-asas dalam Perjanjian Internasional
Ada bermacam-macam asas yang harus diperhatikan dan dipatuhi oleh subjek hukum yang mengadakan perjanjian internasional. Asas-asas yang dimaksud seperti berikut ini.

  1. Pacta Sunt Servanda, artinya setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati.
  2. Egality Rights, artinya pihak yang saling mengadakan hubungan mempunyai kedudukan yang sama.
  3. Reciprositas, artinya tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibalas setimpal.
  4. Bonafides, artinya perjanjian yang dilakukan harus didasari oleh iktikad baik.
  5. Courtesy, artinya asas saling menghormati dan saling menjaga kehormatan negara.
  6. Rebus sic Stantibus, artinya dapat digunakan terhadap perubahan yang mendasar dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian itu.



Daftar Pustaka:
Suwarni. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Arya Duta

Sumber Gambar:
https://id.usembassy.gov
Read more...
 
Santri PPKn © 2017